JAKARTA, Koranmadura.com – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang membenarkan dirinya ikut berpihak dan berkampanye pada Pilpres 2024.
Menurut Hidayat Nur Wahid, pernyataan Jokowi itu berpotensi terjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) dan runtuhnya etika keteladanan bernegara dari seorang presiden.
Hal itu dikatakan Hidayat Nur Wahid dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu 24 Januari 2024 malam WIB.
HNW, akronim namanya, mengakui bahwa memang ada ketentuan UU yang sekilas bisa dijadikan rujukan Jokowi dalam pernyataannya.
Namun Hidayat Nur Wahid mengingatkan ketentuan Pasal 7 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang jelas dan tegas mengatur soal pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode.
“Ini merupakan ketentuan Konstitusi yang juga amanat reformasi. Yang mudah dipahami bahwa di akhir periode kedua, seperti Presiden Jokowi, diakhir masa jabatan maksimalnya diperiode ke dua, maka Presiden yang bukan hanya kepala pemerintahan tapi juga kepala negara, seharusnya juga mementingkan legacy, keteladanan dan etika,” katanya.
Dia meneruskan, “Sebagai presiden dengan tidak perlu cawe-cawe untuk sekalipun melalui orang lain tapi esensinya sama yaitu ‘memperpanjang masa jabatannya’.”
“Apalagi bila ‘orang lain’ itu adalah anggota keluarganya sendiri. Karena hal itu juga bentuk nepotisme yang ditolak oleh Reformasi dan menjadi ketentuan yang tidak sesuai dengan Konstitusi, sehingga harusnya dihindari oleh agar tidak berpotensi dimakzulkan oleh DPR,” imbuhnya.
“Pembatasan dua periode masa jabatan Presiden ini merupakan ketentuan yang membedakan dengan jabatan-jabatan kenegaraan lainnya,” tambahnya lagi.
Adapun ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 seharusnya menjadi acuan dalam menafsirkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).
HNW mengakui memang Pasal 299 UU Pemilu memberikan hak kepada presiden dan wakil presiden untuk berkampanye, dengan berbagai persyaratannya.
Namun, yang perlu ditekankan di dalam memahami ketentuan itu adalah untuk ‘berkampanye’, bukan untuk memihak kepada salah satu calon.
“Artinya ketentuan itu seharusnya ditafsirkan bahwa presiden dapat berkampanye untuk dirinya ketika dirinya secara konstitusi dimungkinkan untuk mencalonkan kembali sebagai salah satu kontestan Pilpres,” ucap Hidayat Nur Wahid lagi.
Dia melanjutkan, “Namun, apabila dia sudah tidak bisa mencalonkan kembali karena sudah dua periode, secara etika, presiden mestinya tidak perlu cawe-cawe lagi dengan berkampanye, apalagi kampanye terang-terangan memihak kepada salah satu calon.”
HNW juga mengingatkan kembali sumpah jabatan yang diucapkan Presiden Jokowi yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UUD NRI 1945.
Di sana ditegaskan, presiden bersumpah untuk “Menjalankan tugasnya sebagai presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya dan memegang teguh Undang – Undang Dasar 45, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya…”. (Gema)