Oleh: Miqdad Husein
Berbagai komentar bermunculan pasca pelaksanaan Pemilu 2024. Ada kalangan menyebut Pemilu sekarang paling brutal di era reformasi. Rusak parah, penuh kecurangan.
Kalangan lain berani menyebut lebih kasar dari pelaksanaan Pemilu di masa Orde Baru.
Komentar-komentar, yang kadang disertai berbagai video sebagai bukti itu, menegaskan kesadaran sangat terlambat .
Mereka ibaratnya baru terbangun dari mimpi indah pelaksanaan Pemilu dari realitas yang sebenarnya sudah amburadul sejak awal.
Apa yang terjadi sekarang tentang dugaan berbagai kecurangan seperti penggelembungan suara, dicoblos duluan untuk pasangan tertentu sebenarnya tidak lebih dari bagian teknis kerusakan Pemilu.
Sebuah riak-riak, yang boleh jadi dari awal sudah mendapatkan ‘jalan’ mulus.
Apa yang mengejutkan pelaksanaan Pemilu ada dugaan terjadi kecurangan terstruktur, sistematis dan massif, jika hal paling mendasar saja dari awal sudah dirusak, diacak-acak.
Semua merupakan resultan dari titik masuk atau fondasi pelaksanaan yang sudah melabrak sana-sani.
Kontroversi di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah awal kerusakan pelaksanaan Pemilu, yang mencabik-cabik perundang-undangan.
Pernyataan Wakil Ketua MK Saldi Isra, yang menyebut keanehan luar biasa ketika sebuah keputusan MK bisa berobah hanya dalam hitungan jam menegaskan betapa bobroknya proses awal yang menjadi dasar Pemilu terkait persyaratan Capres Capres.
Masyarakat negeri ini mengetahui sebelum keputusan perkara Nomor 90, pada hari yang sama MK menolak permohonan uji material soal perubahan batas usia.
Lalu, tak berapa lama, dalam gugatan yang hampir sama MK berobah mengabulkan melalui penambahan frase pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Sebuah kontroversi dan tragedi hukum konstestasi politik yang luar biasa, yang menjadi landasan pelaksanaan Pemilu Pilpres dan secara normatif terbukti terjadi pelanggaran etik melalui keputusan Mahkamah Kehormatan MK.