KORANMADURA.COM – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, mengingatkan pemerintah akan dampak buruk yang mungkin timbul dari rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025. Menurutnya, rencana tersebut justru berpotensi memperberat beban ekonomi rakyat dan pelaku usaha.
Menurut Said, walaupun rencana tersebut dapat menyumbang kenaikan pendapatan negara sebesar Rp300-375 triliun, namun kenaikan PPN 12 persen dapat membawa dampak negatif dengan memperlambat pertumbuhan ekonomi sebesar 0,12 persen.
Lebih lanjut, kenaikan PPN 12 persen juga berpotensi menurunkan tingkat konsumsi masyarakat sebesar 3,2 persen serta dapat berdampak pada penurunan upah minimum. Kemudian, pemerintah juga bakal menghadapi risiko ekonomi lebih besar dalam situasi global yang penuh ketidakpastian.
Menurut dia, pemerintah memang memiliki kewenangan untuk menaikkan atau menurunkan PPN berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, terkait rencana tersebut, dia menekankan perlunya kajian yang lebih mendalam.
“Pada tahun 2022 lalu, pemerintah telah menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen. Dalam waktu tak berselang lama, PPN akan dinaikkan lagi. Saya kira ini jalan pintas untuk menaikkan perpajakan, tidak kreatif, bahkan akan berdampak luas membebani rakyat,” ujar Said.
Seharusnya, kata dia, mandat Undang-Undang tersebut digunakan untuk mendorong reformasi perpajakan secara menyeluruh, seperti pembenahan administrasi data perpajakan, memperluas wajib pajak, mendorong transformasi shadow economy menjadi ekonomi formal sehingga bisa dijangkau pajak, juga mendorong agar pajak bisa menjangkau sektor digital.
“Kenapa hal-hal seperti itu tidak lebih diutamakan, ketimbang menaikkan PPN?” ujar politisi senior PDI Perjuangan ini, heran.
Said lalu membandingkan tarif PPN Indonesia dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, di mana Indonesia sudah berada di posisi kedua tertinggi setelah Filipina. Sehingga tahun depan ada kenaikan hingga 12 persen, maka hal itu akan membuat Indonesia menjadi negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan pemerintah terkait rencana tersebut, kata Said lebih lanjut, adalah daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih pasca Covid-19. Meski ada pertumbuhan sebesar 4,82 persen di 2023, menurutnya angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan rata-rata daya beli masyarakat pada 2011-2019, yaitu di level 5,1 persen.
“Kita juga bisa mencermati angka Indeks Penjualan Riil (IPR) antara periode sebelum Covid-19 dengan periode pemulihan sejak dua tahun lalu. Pada 2019, IPR sempat menyentuh 250, dengan angka terendah 220, sementara paska Covid-19, setidaknya di tahun 2023, IPR tahun 2023 rata-rata di bawah 210,” ucap dia.
Untuk itu, Said meminta pemerintah lebih komprehensif melakukan kajian atas rencana kenaikan PPN tersebut dengan mempertimbangkan banyak aspek, bukan semata ingin menaikkan pendapatan negara.
“Pemerintah perlu menimbang bagaimana kondisi perekonomian kita di tahun 2025, terutama daya beli masyarakat, tingkat inflasi di consumer good, perumahan, transportasi, pendidikan dan kesehatan. Pemerintah harus banyak akal untuk menaikkan pendapatan negara tanpa harus membebani rakyat,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan adanya rencana pemerintah menaikkan PPN pada 2025 menjadi 12 persen. Dalihnya, kenaikan tersebut bagian dari upaya reformasi perpajakan dan meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.
Meski begitu, Kemenko Perekonomian tetap akan memberikan fasilitas PPN kepada sejumlah sektor seperti sejumlah bahan pangan pokok rakyat untuk dibebaskan PPN. (*)