Oleh: Miqdad Husein
Banyak masyarakat kurang menyadari bahwa demokrasi di negeri ini berada di ujung tanduk.
Etika berpolitik makin dilabrak. Akhlaq dan kesantunan berpolitik tercampakan.
Kondisi sosial politik yang carut marut memang tidak menimbulkan situasi sepanas menjelang Reformasi 1998, yang memunculkan kekecewaan dan kemarahan rakyat demikian membuncah bagai letusan gunung berapi.
Nilai dollar sekalipun sudah mendekati angka seperti jelang Reformasi pun belum memberikan pengaruh signifikan terhadap atmosfir politik.
Namun demikian, tingkat eskalasi kerusakan kondisi sosial politik saat ini, tak berbeda jauh. Bahkan, ada sementara kalangan menilai lebih parah dari situasi di masa menjelang Rezim Orde Baru tumbang.
Eskalasi kekecewaan masyarakat, terutama mahasiswa memang tidak terlalu meluas disebabkan sebagian besar tidak mengetahui kepahitan di era Orde Baru.
Mereka tidak merasakan kepahitan demokrasi di era Orba sehingga tidak dapat membandingkan situasi sekarang dengan ketika negeri ini berada dalam situasi otoritarian Orde Baru.
Faktor kebebasan informasi -karena media sosial- yang masih dapat berjalan menjadi semacam hiburan hingga berbagai aksi perlawanan terhadap situasi sekarang, relatif berbeda dengan situasi ketika menjelang Reformasi.
Bahwa kerusakan demokrasi, hukum, era sekarang, tidak berbeda dengan di masa Orba sulit diingkari terutama dalam setahun belakangan. Pemilu 2024 misalnya, sebagai parameter paling kasat mata, tingkat kerusakannya setali tiga uang dengan Pemilu di masa Orba. Praktek-praktek kotor dalam pelaksanaan Pemilu demikian terbuka tanpa rasa malu.
Di era Orde Baru, sekalipun praktek pengrusakan pelaksanaan Pemilu terjadi namun masih menggunakan ‘tata krama’ tanpa merusak tatanan hukum.
Di era sekarang ini, ketika proses demokrasi mulai membaik, justru terjadi anomali, yang tak terbayangkan.