Betapa kasarnya pengrusakan demokrasi dapat terlihat dari bagaimana Mahkamah Konstitusi (MK) diacak-acak demi sang putra mahkota, tanpa rasa malu.
Berbagai peraturan KPU dilabrak demi memuluskan Gibran Rakabuming, sang putra mahkota. Dana APBNpun -Bansos, digunakan sebagai alat memenangkan kepentingan pemegang kekuasaan secara terbuka baik dalam praktek maupun retorika.
Masyarakat yang mengalami dan merasakan kehidupan sosial politik era Orba dan era sekarang, terutama dalam pelaksanaan Pemilu, dapat merasakan langsung betapa luar biasa kerusakan demokrasi saat ini. Jangankan dibanding keseluruhan Pemilu sejak negeri ini memasuki era Reformasi, dengan Pemilu di masa Orba pun yang terjadi pada Pemilu 2024, tingkat kerusakannya terasa lebih parah. Paling tidak lebih kasat mata.
Perbedaan paling mencolok terlihat pada pengrusakan sistem perundang-undangan, yang berlangsung terbuka melalui jalan pintas sangat kasar, seperti kasus di MK dan proses pendaftaran di KPU.
Sekalipun Pemilu di era Orba praktis hanya semu, mereka yang mengalaminya tidak melihat sistem atau perundang-undangan diutak-atik demi sang putra mahkota.
Mungkin menarik perbandingan yang tersebar di berbagai media sosial antara era Soeharto dan Jokowi. Soeharto, perlu waktu 32 tahun untuk berani menampilkan Mbak Tutut sebagai Menteri Sosial. Itupun melalui proses berjenjang disertai tahapan pendidikan politik relatif panjang. Jadi, tidak ujug-ujug tampil menempati posisi strategis.
Jokowi, tak perlu waktu lama, kurang dari sembilan tahun, untuk menampilkan Gibran, Kaesang, menantunya Bobby, menempati posisi politik penting, di negeri ini, melalui jalan pintas mengacak-acak perundang-undangan.
Jangan lupa, di era Orde Baru, situasi sangat sederhana, informasi dan komunikasi masih terbatas sehingga sebagian kecil saja masyarakat yang mengetahui berbagai distorsi demokrasi. Rezim Orba masih memiliki rasa malu.
Sekarang ini, ketika informasi dan komunikasi demikian terbuka, siapapun dapat terlihat bila melakukan berbagai berperilaku sosial, seenaknya terjadi perilaku melabrak perundang-undangan.
Rasa malu di era Orba, masih ada padahal penyebaran informasi terbatas. Saat ini pengrusakan politik sangat telanjang.
Urat malu sudah putus. Suara-suara akademisi, pengamat politik, tokoh agama dan politisi yang masih berpikir jernih, tidak dipedulikan. Sebuah gambaran betapa rusak demokrasi di era sekarang.
Sulit membayangkan bagaimana pemegang kekuasaan, demi sang putra mahkota, merusak pasar terutama beras, yang dijadikan alat memenangkan Pemilu yang berakibat kelangkaan dan kenaikan harga beras.
Sampai saat inipun masyarakat merasakan -harga beras masih tinggi- akibat penggunaan beras demi pemenangan Pemilu. Lagi-lagi anomali: pemerintah yang seharusnya menstabilkan harga malah merusak harga beras melalui aktivitas Bansos besar-besar, demi pemenangan Pemilu. Dasyat.
Apakah situasi saat ini, ketika hasil perjuangan Reformasi rusak parah, dapat dikembalikan ke jalurnya?
Semua tergantung apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi, dalam proses gugatan PHPU. Bola di tangan para hakim MK, apakah Reformasi akan selamat atau makin hancur, kembali mundur bahkan jauh lebih buruk dari era Orde Baru. Naudzubillah.