Oleh: Miqdad Husein
Ketika banyak keluhan muncul terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga memberatkan mahasiswa, Kemendikbud bukannya mencari solusi cerdas, malah melemparkan pernyataan super ironis. Melalui PLT Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Tjitjik Srie Tjahjandarie, merespon kenaikan UKT menyebut pendidikan tinggi sebagai tersier.
Pernyataan itu dalam segala aspek menggambarkan lebih jelas benang kusut dunia pendidikan negeri ini. Bahkan, dari pernyataan itu sangat terasa betapa dunia pendidikan dari konsepsi berpikir saja sudah salah fatal. Apa iya pendidikan tinggi sekedar pelengkap?
Menyebut pendidikan apapun sebagai tersier (pelengkap) menggambarkan sesat berpikir terlalu jauh. Apalagi pendidikan tinggi di era sekarang ini, yang antara kemampuan dan kebutuhan riil tenaga kerja saja, sudah menjadi syarat mutlak.
Coba disasar, apa masih ada kebutuhan tenaga kerja saat ini yang tidak mensyaratkan Sarjana strata 1? Hampir tidak ada. Bukan hal luar biasa jika anak hanya tamatan SMA, praktis sangat sempit peluang kerjanya. SMKpun, belakangan seperti tidak dilirik oleh perusahaan-perusahaan besar.
Jangan lupa, perusahaan-perusahaan besar sekarang bukan hanya mensyaratkan S1 saja.
Mereka, yang hanya kuliah seenaknya sehingga IPnya dibawa 3 kemungkinan akan mengalami nasib seperti taman SMA; peluang kerjanya makin sempit.
Nah, realitas sosial seperti itu apakah tidak diketahui oleh Kemendikbud sehingga enteng saja menyebut pendidikan tinggi sekedar sebagai pelengkap?
BUMN saja, yang merupakan badan usaha milik negara, yang juga mengemban misi sosial praktis jika menerima tenaga kerja baru, hampir tak ada yang mencamtumkan syarat kurang dari S1. Sangat jarang membutuhkan tenaga hanya tamatan SMA/SMK.
Dari paparan sederhana dan selintas saja, tergambar jelas betapa kacaunya konsepsi berpikir Kemendikbud yang menyebut pendidikan tinggi sebagai tersier. Sebuah pemikiran pakai kaca mata kuda, tak tahu apa yang sedang berkembang di lingkungan sosial.
Kesalahan berpikir Kemendikbud makin terlihat lagi jika dikaitkan konsepsi berpikir tentang pendidikan secara keseluruhan. Sejak kapan pendidikan berobah posisi hanya dianggap sebagai kebutuhan tersier; sekedar pelengkap. Apalagi di era sekarang, ketika bidang apapun memerlukan keahlian dan keterampilan.
Bukan hanya menyebut pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier salah besar. Apapun, yang memiliki penegasan pendidikan, terkait pendidikan, jika disebut sebagai tersier merupakan kekacauan dan kesalahan berpikir. Bahkan, boleh disebut sebagai cara berpikir yang menyalahi kodrat kemanusiaan, fakta-fakta sosial.
Coba, apa ada bidang di dunia yang tidak memerlukan kemampuan melalui proses pendidikan, baik formal maupun nonformal? Tidak ada alasan sedikitpun yang dapat membenarkan menyebut pendidikan apapun, dalam tingkatan apapun sebagai tersier. Pendidikan apapun merupakan kebutuhan mendasar, primer. Prasyarat meraih kesuksesan hidup.
Tokoh-tokoh besar di dunia, yang memiliki visi besar selalu menempatkan dan mengutamakan pendidikan. Nelson Mandela, mungkin satu dari sedikit contoh tentang bagaimana menjadikan pendidikan sebagai visi dan misi memperbaiki kehidupan rakyatnya. Mandela tegas menyebut untuk memutus kemiskinan hanya dapat melalui pendidikan.
Umat beragama, yang sebagian besar muslim di negeri ini tentu mengetahui betapa Nabi Muhammad, 15 abad yang lalu menegaskan tentang proses belajar yang harus dilakukan dari buaian sampai ke liang lahat.