Oleh: Miqdad Husein
Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Karyawan baik ASN, BUMN, TNI/Polri dan swasta diharuskan menabung sebanyak 3 persen dari gajinya. Sebanyak 2,5 persen dibayar karyawan, 0,5 persen dibayar perusahaan.
Secara normatif niat dari Tapera cukup baik. Bertujuan membantu rakyat agar memiliki rumah. Sebuah masalah klasik yang di Jakarta saja jauh dari tuntas dan hanya sekedar menjadi janji politik saat kampanye.
Namun tujuan baik saja tidak cukup. Apalagi jika secara kajian jauh dari rasional alias mirif seperti janji kampanye. Terbang melayang-layang.
Tak perlu berpikir nyelimet betapa gagasan baru Tapera jauh panggang dari api. Dengan logika sederhana saja sangat sulit. Misalnya, yang bergaji kurang dari 10 juta saja, menabung 300 ribu sebulan, setahun 3,6 juta. Berapa tahun dibutuhkan dana untuk mendapatkan rumah seharga 300 juta misalnya? Secara kasar perlu waktu 10 tahun. Nah dalam waktu 10 tahun, apakah rumah yang 30 juta tetap seharga itu? Hil mustahal, kata pelawak Asmuni. Jangan lupa mencari rumah seharga itu, sekarang ini di perkotaan juga susah untuk tidak disebut mustahil. Apalagi dalam 10 tahun mendatang.
Kapan -pertanyaan lainnya, rumah akan diberikan kepada karyawan? Pasti tidak dalam waktu dekat. Kan tabungan masih belum seberapa? Tak ada kejelasan. Bahagaimana mekanisme yang mendapat rumah? Juga ngak jelas.
Dari pikiran sederhana saja terpapar jelas kemustahilannya. Bukan hal luar biasa jika muncul pemikiran liar, yang berprasangka buruk bahwa Tapera bukan demi kepentingan rakyat tapi solusi pemerintah sendiri yang kekurangan dana. Ya pemerintah kesulitan membiayai berbagai proyek lalu jadilah Tapera sebagai cara untuk mengatasinya.
Jadi, bukan hal aneh jika Tapera dituding bukan demi kepentingan rakyat tapi malah memanfaatkan kondisi rakyat yang sudah susah. Jangan lupa jika dilaksanakan tambahan potongan 2,5 persen, seluruh potongan gaji buruh menjadi 12 persen.
Yang juga menggelikan kok menabung harus kepada pemerintah, dikelola pemerintah. Lha, apa fungsi bank, termasuk bank pemerintah. Main paksa lagi agar karyawan menabung.
Untuk ASN, TNI/Polri, jangan lupa sudah lama ada program Tapera. Itupun, sampai kini belum terealisasi optimal. Entah ada atau tiada wujudnya.
Jika pemerintah memang serius ingin membantu rakyat memiliki rumah skema paling sederhana ya bantuan kredit rumah. Kemudahan proses disertai bunga relatif rendah. Banyak dana yang dikumpulkan dari masyarakat yang dapat dikelola memenuhi kebutuhan rumah. Sayangnya, jangankan untuk membantu rakyat, kebanyakan dana pengelolaannya amburadul. Kasus di Jiwasraya, Asabri, Taspen dan entah apalagi.
Sekedar contoh, seperti diberitakan Tempo, hasil pemeriksaan BPK tahun 2020 ada temuan sebanyak 124.960 orang pensiunan peserta Tapera belum menerima pengembalian dana Tapera sebesar Rp 567.457.735.810 atau sekitar Rp 567,5 miliar. Selain itu, BPK menemukan sebanyak 40.266 orang peserta pensiun ganda dengan dana Tapera sebesar Rp 130,3 miliar.
Yang sudah lama dikumpulkan kelola dulu dengan baik. Baru berpikir lainnya. Lha, yang lama saja tidak beres, kok minta porsi baru.