Oleh: Miqdad Husein
Sebuah rekor buruk tentang perilaku masyarakat negeri ini kembali menjadi perbincangan luas. Apalagi lagi kalau bukan judi online.
Sebelumnya, merebak luas tentang pinjaman online, yang tak kalah dasyat. Sebuah deretan realitas pahit kondisi sosial masyarakat.
Berdasarkan paparan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) nilai transaksi keuangan mencurigakan, terutama terkait judi online telah mencapai lebih dari Rp 600 triliun pada kuartal I 2024. Adapun jumlah pemainnya tercatat mencapai 3,2 juta orang.
Data PPATK sangat jelas menyebut baru kuartal pertama. Ini menegaskan kemungkinan besar, tahun 2024 ini akan menjadi salah satu puncak tertinggi keterjeratan masyarakat dalam judi online.
Sebuah ironi tragis, jika dikaitkan dengan fakta demografi bahwa masyarakat Indonesia merupakan penganut agama. Bukankah semua agama melarang judi.
Dampak dasyat secara sosial, seperti Pinjolpun mulai terpapar dalam pemberitaan. Bunuh diri, pembunuhan, konflik dalam keluarga makin kerap muncul ke permukaan. Yang paling kontroversial ketika sebuah data mengejutkan meluncur dari Kabupaten Cianjur, yang masyarakatnya dikenal sangat religius.
Gugatan perceraian dari pihak istri ternyata 70 persen disebabkan karena persoalan judi online. Bukan hal luar biasa jika data sejenis sangat mungkin masih banyak dan belum terungkap.
Dari data selintas ini diduga persoalan judi online merebak di kalangan masyarakat bawah, yang untuk memenuhi kebutuhan hidup saja harus pontang panting. Judi online menjadi harapan meraih penghasilan besar, yang sayangnya hanya sekedar mimpi kosong.
Mereka tidak menyadari sedang terjerat penipuan sistematis lewat teknologi digital, yang sangat menggoda hasrat ingin kaya.
Ketika keinginan kaya melewati judi online -yang sepintas sangat mudah dan cepat- sudah pasti mereka tak lagi menggunakan akal sehat. Mereka terbuai mimpi dan terus menerus akhirnya menggerus apa yang dipunyai bahkan terpaksa meminjam atau melakukan berbagai tindakan kriminal.
Judi, seperti kata Rhoma Irama membuat orang malas dibuai harapan. Sebuah awal perjalanan hidup menyesatkan.
Tak perlu lagi penjelasan efek merusak judi. Yang perlu saat ini bagaimana menyelamatkan masyarakat agar tidak tertipu perjudian online. Tertipu di sini menggambarkan bahwa yang terjadi sesungguhnya lebih parah dari perjudian riil, yang seseorang mungkin saja bisa menang.
Perjudian di sini sepenuhnya benar-benar menjerat masyarakat secara massal tertipu berkedok perjudian.
Bisa dibayangkan dasyatnya penipuan judi online ini. Jika judi tanpa penipuan saja sudah merusak, apalagi perjudian online yang sengaja menipu masyarakat. Membuai masyarakat. Artinya, permainan yang dijadikan alat berjudi tak lebih sekedar untuk menipu dan menipu. Sudah judi, penipuan pula.
Jelas ada tsunami dasyat penghancuran moral dan kehidupan sosial di tengah masyarakat. Celakanya, tsunami itu bukan air laut yang terlihat jelas melainkan berbentuk aktivitas dunia maya, yang siapapun sulit menghancurkannya. Seperti seks online, judi online sangat sulit dihapus. Sepuluh diblokir akan muncul seratus, seratus diblokir akan muncul ribuan.
Jadi, tidak ada cara lain kecuali dari kesadaran masyarakat sendiri. Sayangnya, kesadaran sulit dibangkitkan karena sudah demikian penuh harap hidup dalam impian kosong. Lebih celaka lagi, judi bersifat candu sehingga membuat seseorang demikian sulit ke luar hingga hanya tersisa baju yang melekat di tubuh.
Perlu langkah riil dan luar biasa dasyat seluruh lini. Ya sosial, penanganan serius dunia maya, tindakan hukum aparat, tokoh agama sampai tingkat paling bawah seluruh jaringan pemerintah. Seluruh kekuatan negeri ini, memang perlu turun tangan jika ingin menyelamatkan bukan hanya mereka yang berjudi, tapi seluruh masyarakat negeri ini. Sebuah tantangan sangat berat, yang tak bisa dijawab sekedar retorika dan janji kosong.