Oleh: Miqdad Husein
Pemecatan Ketua KPU Hasyim Asyari berdasarkan keputusan DKPP akibat perilaku asusila sebenarnya menggambarkan lebih jelas lagi bahwa lembaga penyelenggara Pemilu 2024 sangat bermasalah.
Data terbuka sebelumnya menyebutkan bahwa Ketua KPU telah terbukti melanggar etika sebanyak empat kali. Empat kali!
Luar biasa. Empat kali. Di negara beradab lainnya, seorang yang terindikasi melanggar etika saja -baru terindikasi dan belum terbukti- sudah merasa malu hingga mengundur diri dari jabatan. Ini menggambarkan problem dasyat etika di negeri ini. Miris.
Soal pelanggaran etika ini sebenarnya jauh lebih berat dan berbahaya dibanding persoalan tindakan asusila. Tindakan asusila lebih bersifat personal dan bisa tak terkait kepentingan masyarakat, termasuk negara. Mungkin hanya mempertegaskan kualitas moralitas dan integritas yang bersangkutan.
Tentu tetap ada resiko hukum, yang para ahli hukum lebih mengetahui. Misalnya apakah kemudian akan membawa kasus keputusan DKPP ike proses hukum atau tidak. Tergantung bukti-bukti riil. Apalagi ini kasus asusila, yang masuk katagori delik aduan.
Di sini, sebenarnya terlihat sangat jelas bahwa persoalan etika dampaknya lebih dasyat. Sebab, berbagai pelanggaran etika Ketua KPU ada yang berakibat pada proses pelaksanaan Pemilu. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia misalnya, belum ditindaklanjuti dengan langkah perubahan PKPU tapi KPU santai saja menerima pendaftaran pasangan Prabowo-Gibran. Jadi, jelas berdampak luas pelanggaran etika itu.
Yang tak kalah menarik, pertama, soal moralitas dan integritas. Bisa dibayangkan empat kali melanggar etika Ketua KPU masih saja tetap bertahan tanpa rasa malu.
Ini menimbulkan pertanyaan pada integritas yang bersangkutan. Lalu, kedua, kenapa pelanggaran etika serius tidak melahirkan keputusan pemecatan seperti kasus asusila belakangan ini. Padahal, berdampak luar biasa terhadap pelaksanaan Pemilu. Jauh lebih beresiko sosial.
Merusak legitimasi Pemilu 2024. Jangan lupa, ini soal penyelenggaran hajat nasional politik, yang jika kisruh dapat mengganggu stabilitas nasional.
Ada apa sebenarnya?
Ketiga, pemecatan Ketua KPU ini terjadi tak berapa lama setelah menyampaikan khotbah Idul Adha di Semarang. Bukan soal menyampaikan khotbah tetapi materi khotbah Hasyim Asyari yang tergolong sangat tajam secara riil langsung mengkritisi Presiden Jokowi, yang ketika itu menjadi salah satu jamaah sholat Idul Adha.
Keempat, ini yang menarik, pemecatan berlangsung pasca KPU merobah keputusan terkait usia keputusan kontroversial Mahkamah Agung (MA), menambah pasal usia dengan klausal ‘saat dilantik.
‘ Sebuah keputusan hukum, yang sangat mirif dengan keputusan MK perkara nomor 90 yang kali ini diduga demi kepentingan putra bungsu Presiden Jokowi, yang bernama Kaesang Pangareb. Bedanya, MK memang berwenang walau keputusannya dianggap melompati pagar kewenangan MK. Sebuah gambaran carut marut hukum negeri ini.
Di sinilah kemudian beredar rumor, pemecatan diberlakukan kepada Ketua KPU karena sudah tidak lagi dibutuhkan. Jalan mulus kepentingan politik pihak tertentu sudah tersedia sehingga tak ada lagi manfaatnya. “Kalau sudah tidak diperlukan lagi, selesai. Apalagi telah menyakiti saat khotbah Idul Adha,” kata seorang nitizen.
Pada akhirnya, kasus pelanggaran asusila Ketua KPU sesungguhnya makin menegaskan semrawut penyelenggaran Pemilu 2024, yang dari sejak proses sudah menimbulkan masalah. Sesuatu yang seharusnya sangat dan sangat dihindari karena menyangkut konstestasi politik.
Dalam dunia politik itu, yang berjalan benar saja berpotensi dipermasalahkan apalagi yang berproses di atas landasan hukum bermasalah. Semoga saja, negeri ini dilindungi dan segera diselamatkan dari perilaku politisi culas, yang menghalalkan segala cara demi memuaskan syahwat kekuasaan.