Oleh: Miqdad Husein
Berkunjung ke kompleks Pondok Pesantren Salafiyah Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah, yang terletak di desa Sananrejo, Turen kabupaten Malang, Jawa Timur, mengingatkan pada proses pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Lho, adakah persambungannya?
Tidak ada persambungan Pondok Pesantren yang telah dirintis sekitar 47 tahun yang lalu sejak tahun 1963 dengan IKN. Ingat pada IKN terkait proses pembangunannya.
Pondok Pesantren, yang memiliki bangunan super dasyat itu, melalui perjalanan panjang melelahkan.
Proses berliku dan ditangani seakan dengan semangat mengedepankan kalbu, nurani. Sampai sekarangpun, belum sepenuhnya selesai.
Sangat bertolak belakang dengan IKN yang terkesan dipaksakan. Seperti supir angkot mengejar setoran.
Namun, sekalipun belum selesai, siapapun yang berkunjung Pondok Pesantren Salafiyah akan terperangah menyaksikan kedasyatan bangunannya. Keseluruhan bangunan betul-betul membuat siapapun terpesona. Kok ada bangunan demikian indah dan sangat luar biasa luas, di sebuah desa, yang dalam perjalanan menuju lokasi saja, jalan yang ditempuh hanya cukup untuk satu mobil sehingga yang ingin ke luar dari lokasi harus melalui jalan lain, yang disiapkan pengelola.
Seluruh bangunan dilapisi keramik dengan ornamen kaligrafi Quran cukup indah. Hampir setiap dinding yang terbentang dibuat dari bahan keramik terukir kaligrafi yang hampir seluruhnya berwarna biru.
Itu baru satu hal yang sangat luar biasa. Jejeran bangunan kuba yang terpancang menjulang ke langit dengan ukuran raksasa, juga dengan lapisan berbahan keramik menambah kedasyatan bangunan pesantren.
Yang tak kalah menarik, bangunan kawasan pesantren ada 10 lantai. Juga sebagian besar berdinding keramik dengan ornamen hiasan al Quran. Banyak yang mencoba tidak menggunakan lift dan berjalan saja. Menariknya, tak ada rasa lelah sekalipun menapak naik sampai 10 lantai, termasuk ketika seorang anak kecil berusia 2 tahun, santai saja berjalan dari lantai dasar sampai ke lantai 10.
Cara pengaturan tangga serta keindahan keseluruhan bangunan membuat siapapun, yang berkunjung tak merasakan lelah walau harus berjalan menggunakan tangga. Membuat siapapun lupa, sedang menaiki bangunan 10 lantai.
Yang cukup mencengangkan, keseluruhan bangunan indah dikerjakan hampir sepenuhnya oleh para santri. Memang, ada perbedaan dengan santri kebanyakan pesantren. Santri Pesantren Bihaaru Bahri, praktis bermukim sepanjang hidup. Santri kebanyakan berusia di atas 18 tahun.
Pemberitaan di berbagai media sosial, di kanal youtube memang cukup menjelaskan kedasyatan bangunan Kompleks Pesantren Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah. Namun, siapapun akan jauh lebih merasakan kedasyatan ketika berkunjung langsung ke Pesantren di Jawa Timur itu.
Demikian dasyat dan terkesan tidak rasional, sehingga bukan hal luar biasa kalau berkembang rumor kompleks dibangun makhluk halus bernama Jin.
Sempat kompleks itu disebut Masjid Jin atau Masjid Tiban (tiba-tiba ada) karena bangunan luar biasanya. Penyebutan masjid sebenarnya juga kurang tepat karena merupakan bangunan kompleks pesantren, yang luasnya sekitar tujuh hektar.
Proses panjang dan penuh kesabaran, ketekunan, tidak dipaksakan, seakan mengedepankan nurani itulah hingga berdiri bangunan sangat indah dan dasyat. Dan di sinilah, alasan mengapa tiba-tiba ingat pembangunan IKN, yang hampir seluruh prosesnya terkesan dipaksakan.
Ya penentuannya, undang-undangnya, prosesnya, termasuk berbagai langkah-langkah untuk menempati, termasuk pula memastikan Peringatan Kemerdekaan tahun ini, dipaksakan dilaksanakan di IKN.
Makin terasa ‘dipaksakan’ ketika negeri ini, seperti juga negara di dunia lainnya, sempat terkena musibah Corona. Bukan hanya dana terpaksa dialihkan membiayai penyelamatan raga dan nyawa serta ekonomi masyarakat.
Aktivitas apapun seakan harus terhenti dan diarahkan untuk penanganan wabah Corona.
Sebuah pembelajaran spiritual, moral, kecerdasan emosional serta tentu saja, harapan hasil terbaik dapat diambil dari proses pembangunan Pondok Pesantren, yang berada dalam naungan NU itu.
Semuanya dibiarkan mengalir alami, tidak dipaksakan dan seakan penulisan sejarah diberikan keleluasaan menelisik sampai detail-detail terkecil. Bahkan, sebuah ajakan perenungan spiritualpun ditawarkan pengelola pondok, untuk lebih memahami keseluruhan proses.
Sebuah keindahan bernilai sejarah tak bisa ujug-ujug. Selalu memerlukan proses, yang tidak biasa. Kecuali jika ingin meninggalkan rekam jejak buram: Ya, dipaksakan.