Oleh: Miqdad Husein
Berbagai kegaduhan demontrasi mengawal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan penolakan rencana pengesahan RUU Pilkada oleh DPR, memberikan gambaran riil kontradiksi kelakuan pemimpin dan ketulusan sikap rakyat.
Rakyat demikian mematuhi berbagai keputusan konstitusional sementara pemimpin negeri ini justru bersikap sebaliknya.
Masyarakat Indonesia tentu masih ingat ketika MK memutuskan perkara Nomor 90, yang kontroversial dan ternyata terbukti dalam prosesnya Ketua MK Anwar Usman melanggar etika.
Tidak ada demo atau penolakan berarti.
Berbagai protes kalangan intelektual dan sebagian masyarakat lebih sebagai gugatan mempertanyakan bagaimana sebuah lembaga seperti MK justru mengeluarkan keputusan yang praktis lebih bermuatan kepentingan memberi karpet merah kepada putra sulung Presiden Jokowi yang bernama Gibran Rakabuming Raka.
Keputusan MK itu, sangat jelas hanya demi Gibran agar dapat mencalonkan diri sebagai Cawapres.
Belakangan berbagai langkah di KPU terbukti banyak yang melanggar prosedural. Ketua KPU Hasyim Ashari sampai lima kali terbukti melanggar etika, yang empat diantaranya berkaitan langsung dengan tanggungjawabnya. Semua praktis demi kepentingan Gibran.
Bagaimana sikap rakyat? Terlihat sekali, rakyat seperti tercermin dari pernyataan Mantan Ketua MK Mahfud MD.
Bahwa Keputusan MK Nomor 90 pada dasarnya bukan kewenangan MK, namun tetap harus diterima karena keputusan MK final dan mengikat. Masyarakat pada posisi ini pasrah menerima bahwa keputusan MK final dan mengikat.
Tidak ada demontrasi besar-besaran. Itu tadi karena masyarakat menyadari dan mentaati bahwa keputusan MK final dan mengikat.
Sebuah gambaran betapa dewasanya masyarakat negeri ini, yang mematuhi norma walau faktual sangat tidak adil dan hanya demi kepentingan putra Jokowi. Sebuah tragedi hukum memalukan.
Coba bandingkan sikap legawa rakyat yang menerima keputusan MK dengan sikap Presiden Jokowi.
Sikap Presiden sangat jelas bukan mencerminkan ‘akhlaq’ seorang pemimpin, yang menjadi contoh ketaatan melaksanakan konstitusi. Terlihat sekali betapa Presiden Jokowi dalam menyikapi keputusan MK hanya berpikir kepentingan anak-anaknya.
Terhadap keputusan MK Nomor 90 yang menguntungkan anaknya, Gibran, dengan gagah Presiden Jokowi menegaskan bahwa keputusan MK final dan mengikat.
Tidak ada langkah meluruskan dalam bentuk tindakan misalnya, mencegah siapapun memanfaatkan keputusan MK agar tidak dilaksanakan karena terbukti melanggarkan etika.
Ironisnya, Presiden Jokowi justru memanfaatkan keputusan itu untuk kepentingan putranya, agar mulus menjadi Cawapres walaupun dalam proses di KPU melabrak berbagai etika seperti menerima pendaftaran padahal KPU belum merobah persyaratan yang tercamtum dalam PKPU. Termasuk KPU belum melaksanakan kewajiban berkonsultasi dengan DPR. Tapi lagi-lagi Presiden sebagai pucuk pimpinan tertinggi justru membiarkan berbagai kisruh untuk kepentingan keluarganya. Tragis.
Bandingkan sikap Presiden Jokowi terhadap keputusan MK Nomor 60, yang jelas-jelas telah meluruskan proses demokrasi. Presiden Jokowi bukan bersikap sama seperti ketika MK memutuskan perkara nomor 90.
Kali ini Presiden Jokowi karena merasa keputusan MK sekarang berpotensi menghalangi anak bungsunya Kaesang Pangareb untuk mencalonkan diri dalam Pilkada Provinsi, ketika ditanya wartawan tak ada jawaban bahwa keputusan MK final dan mengikat. Yang terjadi malah bersikap ambigu seperti memaklumi DPR yang -kecuali PDIP- yang secara ironis melakukan perlawanan pada keputusan MK.
Dengan tanpa rasa bersalah Presiden menyatakan, “Iya kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara,” ungkap Jokowi dalam siaran video Sekretariat Presiden, Rabu (21/8).
Jokowi menegaskan, putusan MK itu merupakan produk konstitusi. Jokowi tidak memberikan pernyataan bahwa putusan MK final dan mengikat.
“Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki,” pungkas Jokowi.
Bandingkan dengan pernyataan pada tahun 2019, “Putusan MK adalah putusan yang bersifat final, dan sudah seharusnya kita hormati dan laksanakan Bersama-sama,” kata Jokowi pada tahun 2019.
Sangat jelas, rakyat demikian mematuhi konstitusi, menerima keputusan MK tahun 2019 maupun yang sekarang, eh malah Presiden Jokowi, demi kepentingan sang anak, Kaesang, justru memberi contoh buruk memanfaatkan polemik dua lembaga negara.
Padahal, Presiden Jokowi sudah pasti mengetahui bahwa keputusan MK final dan mengikat.
Di sinilah mengapa rakyat Indonesia seperti mendapat panggilan moral untuk mengawal keputusan MK ketika DPR -minus PDIP- justru melakukan perlawanan yang lagi-lagi demi kepentingan sang putra Jokowi, untuk maju Pilkada Jawa Tengah.
Sangat jelas, rakyat sangat mematuhi konstitusi sementara pemimpinnya, justru bersikap sebaliknya: menyikapi konstitusi atas dasar pertimbangan kepentingan anak-anaknya.
Maka wajar jika kemudian muncul berbagai protes keras. Gaduhlah di tengah rakyat, akibat perilaku sang pemimpin dan elit politik.
Tragis.