JAKARTA,KORANMADURA.COM – Revisi kilat UU Pilkada yang dibuat DPRRI sebagai upaya menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 terus ditentang.
Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD) dengan tegas menolak revisi UU Pilkada yang dapat merusak integritas dan keadilan dalam proses pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Direktur Eksekutif KPPOD Herman N. Suparman mendukung penuh pelaksanaan MK Nomor 60/PUU- XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.
“Meminta pemerintah dan DPR mematuhi Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024,” ujar Herman N. Suparman dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (21/8).
Herman meminta KPU untuk menindaklanjuti Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dibacakan MK pada 20 Agustus 2024.
“Meminta Pemerintah dan DPR untuk merancang Undang-Undang dengan pertimbangan hukum yang tepat, tidak ugal-ugalan dan sesuai dengan prosedur hukum, serta melibatkan masyarakat melalui partisipasi yang bermakna (meaningful participation),” imbuhnya.
Lebih lanjut, dia menilai hasil pembahasan Rancangan Undang-Undangoleh DPR RI tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (RUU Pilkada) yang dilaksanakan pada 21 Agustus 2024 telah mencederai kepastian hukumserta akuntabilitas pemilihan kepala daerah dan berpotensi mengganggu efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah ke depan.
Revisi UU Pilkada ini pun terlihat sebagai upaya menganulir Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Hasil revisi UU Pilkada ini menimbulkan ketidapastian hukum karena bertentangan dengan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tanggal 20 Agustus 2024.
Putusan yang bersifat final dan mengikat ini menegaskan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam kompetisi pemilihan kepala daerah.
Selain itu, keputusan ini membuka peluang bagi calon kepala daerah alternatif untuk bersaing secara efektif dalam melawan koalisi yang dominan.
Di samping itu, Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tanggal 20 Agustus 2024 juga menegaskan bahwa syarat usia pencalonan kepala daerah harus dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan sejak pelantikan calon terpilih.
Putusan ini mencerminkan semangat penguatan demokrasi lokal di tengah upaya pelanggengan politik dinasti saat ini.
Lebih dari itu, hasil revisi UU Pilkada kontraproduktif dengan upaya menjadikan pilkada sebagai sistem yang melahirkan kepala-kepala daerah yang berkapasitas dan berintegritas.
Kapasitas dan integritas kepala daerah merupakan variabel yang sangat menentukan tata kelola pemerintahan daerah yang baik.
Artinya, selain mengganggu sistem pemilihan kepala daerah yang berlandaskan Luber dan Judil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil), revisi UU Pilkada yang serampangan ini berpotensi merusak integritas dan efektivitas pemerintahan daerah, serta mengancam upaya mencapai ultimate goal otonomi daerah: kesejahteraan masyarakat. (HARD)