Oleh: Miqdad Husein
Seorang kawan yang berprofesi sebagai pengusaha pernah memberikan kiat sangat bagus dalam menilai perilaku karyawan.
Ada dua kesalahan karyawan, katanya. Yang pertama, kesalahan yang tidak disengaja. Kesalahan seperti itu, dapat dimaafkan.
“Betapapun besarnya kerugian perusahaan akibat kesalahan itu tetap dapat dimaafkan. Hukuman terberat ya diminta mengganti kerugian sesuai kemampuan,” jelasnya.
Kedua, kesalahan karyawan yang disengaja. Untuk kesalahan kedua ini, tak dapat dimaafkan.
Karyawan macam ini katanya lagi, tidak ada jalan lain kecuali langsung diberhentikan.
“Secara hukum bisa masuk ranah pidana,” tegasnya.
Ketika ditanya, mengapa kepada karyawan yang melakukan kesalahan yang disengaja langsung dipecat, tidak memberi kesempatan mendapat maaf. Kawan saya, menatap tajam.
Lalu, katanya, “Mereka yang melakukan kesalahan sengaja punya tujuan demi mendapatkan keuntungan pribadi. Itu dapat merusak perusahaan. Memaafkan mereka, sama saja memberi kesempatan lagi untuk melakukan kesalahan yang sama bahkan yang lebih berbahaya lagi,” tegasnya.
Pada tingkat lebih ekstrim, karyawan yang melakukan kesalahan sengaja, akan terus memanfaatkan peluang sekecil apapun demi mendapat keuntungan pribadi. Berbagai rekayasa akan terus dilakukan. Jika dibiarkan dapat menjadi benalu yang bukan hanya merugikan tapi juga merusak keseluruhan tatanan perusahaan.”
Yang berbahaya, kesalahan kedua ini akan menular kepada karyawan lainnya. Seperti benalu, akan terus menyebar dan merusak serta membangkrutkan perusahaan.
Pada dasarnya, melakukan kesalahan yang disengaja adalah tindakan untuk mendapat keuntungan pribadi. Jadi, dari awal sudah tertanam niat melakukan berbagai tindakan yang menguntungkan dirinya melalui cara-cara haram.
Kadang, karyawan macam itu terkesan tak tahu menahu, tidak memperlihatkan kaitan kesalahan orang lain atau berbagai insiden.
Padahal, diam-diam sebenarnya menjadi bagian sebagai aktor intelektual. Lalu, akan tampak pada sikap ketika memanfaatkan berbagai kesalahan, lagi-lagi demi memuaskan nafsu memperoleh keuntungan dirinya.
Seperti contoh dari perilaku karyawan, jika ditarik dalam kehidupan kemasyarakatan yang terkait kekuasaan, seorang politisi dapat dimaafkan jika misalnya, telah berusaha bekerja keras namun tidak dapat sepenuhnya memenuhi seluruh janjiketika kampanye. Ia hanya dapat nilai kurang bagus, karena kinerjanya tidak memuaskan.
Namun, tidak ada kata maaf kepada politisi yang secara sengaja merusak tatanan demi syahwat memuaskan kepentingan dirinya untuk terus berkuasa.
Termasuk, yang tanpa rasa bersalah memanfaatkan berbagai ‘kesalahan’ sistem dan bukan berusaha memperbaikinya. Bisa jadi, berbagai kesalahan sistem, yang di permukaan tidak terkait dirinya secara riil sebenarnya merupakan rekayasa dan permainannya.
Memaafkan politisi sejenis karyawan yang sengaja membuat kesalahan adalah pembenaran terhadap berbagai tindakan yang merusak. Akan terus terjadi eskalasi kerusakan, karena mendapat pembenaran. Ini menjadi ancaman terhadap keamanan negara.
Memberikan informasi palsu, identitas palsu, menyampaikan prestasi yang ternyata bodong adalah kebohongan publik. Harus diproses hukum, tanpa kecuali.
Mengapa penting, ada tindakan hukum, sanksi, kepada mereka yang sengaja melakukan kesalahan? Ada ungkapan arif dalam dunia hukum. “Anda dihukum, bukan karena mencuri kuda, tapi supaya tidak ada lagi pencurian kuda-kuda lainnya.”
Inilah, mengapa setiap jabatan publik, tidak boleh memberikan kesempatan sedikitpun kepada mereka telah sengaja merusak tatanan baik langsung maupun tidak langsung. Seperti pencuri kuda, jika pejabat publik yang melakukan kesalahan terencana dibiarkan, kesalahan lain akan menjadi kebenaran.
Pemberian maaf hanya dapat diberikan kepada tindakan kesalahan yang tidak disengaja. Terhadap tindakan yang sengaja merusak demi kepentingan, memanfaatkan kerusakan demi kepentingan pribadinya bukan memberikan maaf, melainkan sanksi.
Maaf kepada yang sengaja melakukan kesalahan hanya diberikan ketika proses dan sanksi hukum telah dilaksanakan.