Oleh: Miqdad Husein
Mundurnya Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto seperti membuka ‘luka’ lama politik era Orba. Masyarakat, terutama kalangan intelektual merasakan dan mencium aroma tak sedap hegemoni politik dasyat.
Hampir semua pengamat politik merasakan bahwa mundurnya Airlangga tak lepas dari hiruk pikuk Pilkada 2024. Bahwa ada sanggahan dari sebagian pengurus Golkar yang menyebut sepenuhnya karena persoalan pribadi sang Ketum, tetap sulit menutupi aroma efek pertarungan Pilkada.
Petinggi SMRC Saiful Mujani menyebut akan terjadi tsunami politik. Lagi-lagi gambaran kekhawatiran tentang pengulangan kehidupan politik di era Orba kembali terjadi.
Sebuah twit dari seorang nitizen terasa pas menggambarkan suasana politik saat ini. “Demokrat dihajar, SBY nyerah, PPP dibelah sampai kalah di Pileg, PSI direbut dalam 2 hari, PKS mengemis minta diajak. PKB diadu dgn NU, dipreteli basis massanya. Golkarpun mulai diganggu. Tinggal Banteng yg tetap berdiri gagah walau tubuh penuh luka. Tidak menyerah.”
Sebuah curhat yang sangat mewakili kondisi politik kekinian. Suasana politik yang memang seperti pengulangan era Orba ketika kekuasaan demikian keras menekan sana sini. Mungkin hanya langgam dan gaya yang berbeda.
Masyarakat tentu masih ingat suasana politik di era Orde Baru. Dua partai yaitu PPP dan PDI yang berada di luar kekuasaan seringkali mendapat gangguan di internalnya. Secara intens upaya pelemahan partai politik berjalan massif dan sistematis agar kekuasaan berjalan mulus, tanpa gangguan.
Partai saat itu praktis tak lebih dari produk kompromi dan rekayasa politik. Kepengurusan partai dari pusat sampai ke daerah semuanya berada dalam kendali tangan-tangan kekuasaan. Tidak salah bila era Orba disebut demokrasi hanya semu. Pemilu sekedar seremoni yang hasilnya sudah ketahuan sejak sebelum pencoblosan dimulai.
Ada anekdot, bahwa hasil Pemilu perolehan suara Golkar, sudah hampir dipastikan berdasarkan target yang disampaikan ketua umumnya usai bertemu Ketua Dewan Pembinanya yaitu Presiden Soeharto. Begitulah.
Reformasi akhirnya terjadi Mei 1998. Nurcholish Madjid menyebut itulah momen riil kehidupan demokrasi di negeri ini. Sebuah awal baru yang sangat terlambat karena kungkungan rezim Orba, sekitar 32 tahun.
Apakah suasana sekarang sama dengan era Orba? Mereka yang dapat menggunakan akal sehat pasti merasakan. Bahkan sejujurnya, di era sekarang ini terasa lebih kasar dan perusakan terjadi pada hal-hal mendasar.
Mahkamah Konstitusi (MK) dikangkangi. Mahkamah Agung (MA) jadi alat pembenaran kepentingan kekuasaan. Hukum sebagai pagar yang menjadi bingkai berpolitik tinggal serpihan-serpihan kecil.
Kita sekarang sedang berjalan mundur. Reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata pelan mulai berbelok arah. Kembali ke masa silam nan kelam. Alamak.