Oleh: Miqdad Husein
Perbincangan kelangsungan hubungan Jokowi dan Prabowo sungguh menarik.
Jika awalnya masyarakat hanya sebatas berasumsi atas dasar prinsip politik bahwa tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada kepentingan abadi, kini pelan mulai melihat realitas sebenarnya.
Tidak sulit mencermati suasana ibarat rumah tangga tentang ‘percekcokan’ keduanya. Dari berbagai mentahnya rencana koalisi Pilkada yang awalnya demikian pasti, komentar pedas Prabowo soal manusia yang demikian haus kekuasaan dan terakhir tentang wacana pintu terbuka bagi PDIP untuk bergabung bersama dalam pemerintah, semua menjadi isyarat alam realitas hubungan itu.
Pembatalan pengesahan RUU Pilkada, bisa jadi termasuk faktor yang tak kalah penting karena menjadi kekecewaan dari pihak Jokowi. Bayangkan, sang anak Kaesang, yang sebelumnya diharapkan menjadi cengkraman kekuasaan setelah tak lagi menjabat sebagai Presiden ternyata gagal total untuk mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur.
Semua tahu Presiden Jokowi telah berusaha keras agar Kaesang menjadi Wakil Gubernur Jawa Tengah. Demikian kerasnya keinginan itu sampai Jokowipun rela bersikap plintat plintut terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketika terkait keputusan MK Nomor 90, yang menguntungkan sang anak Gibran, langsung berteriak lantang sebagai keputusan final dan mengikat.
Sementara dalam keputusan MK Nomor 60, demi sang Kaesang, Presiden Jokowi rela mempertaruhkan dirinya dengan memberikan penegasan bersayap karena keputusan itu menutup peluang Kaesang. Padahal Jokowi tahu bahwa keputusan MK final dan mengikat.
Banyak yang menilai inilah titik awal suasana ketaknyamanan hubunguan itu.
Apalagi berkembang rumor, Prabowolah yang berlatar belakang militer, yang tak ingin terjadi kegaduhan dan ketakstabilan negeri ini, saat dilantik nanti, disebut-sebut yang bersikeras meminta agar DPR membantalkan pengesahan RUU Pilkada yang disiasati membuka kembali peluang Kaesang, pasca Keputusan MK Nomor 60.
Mungkin soal pencalonan Pilkada Banten dianggap ecek-ecek. Padahal, dampaknya sangat terasa karena sempat mempengaruhi komposisi berbagai koalisi daerah lainnya.
Belakangan menarik ketika dunia maya diramaikan pengungkapan jati diri sebuah akun, yang diduga ternyata milik Gibran Rakabuming, sang Wapres terpilih pendamping Prabowo. Jelas bukan sekedar akun saja. Jejak akun yang diduga miliki Gibran itu, sangat luar biasa cuitannya dalam menyerang Prabowo. Kalimat sarkastis sungguh sangat super luar biasa dilemparkan kepada Prabowo.
Berbagai cuitan itu mungkin, memang ketika terjadi rivalitas antara Jokowi dan Prabowo dalam Pilpres 2019. Namun, tak seorang menyangka berbagai cuitannya sungguh-sungguh sangat mengerikan. Benar-benar jauh dari keadaban.
Sumpah serapah kepada Prabowo demikian kencang.
Para pengeritik yang sangat tajam kepada Prabowo di masa Pilpres 2019 praktis lebih mengarah pada kinerja dan rekam jejak. Lebih pada kinerja dan langgam kepemimpinannya. Namun, twitt yang diduga Gibran itu benar-benar berisi sumpah serapah sangat kasar yang sama sekali tidak mencerminkan seorang beradab.
Seorang preman mungkin akan saling maki sesama preman menggunakan bahasa kasar. Namun, preman sejahat apapun tak akan melontarkan kata-kata sangat kasar seperti menyebut maaf- anjing- dalam perbincangan konstestasi politik.
Ya, selama ini para pengeritik yang berlawanan di antara para pendukung dan tim kandidat Pilpres sangat jarang melontarkan berbagai ungkapan sangat kasar apalagi sampai menyebut binatang. Sekali lagi berbagai kritik lebih mengarah pada kinerja, rekam jejak atau langgam kepemimpinan. Itu yang terjadi.
Makanya, terasa mengejutkan ketika sebuah akun twitter sampai melontarkan berbagai pernyataan super sarkastis. Apalagi, ternyata diduga milik seorang Gibran, yang menjadi pendamping Presiden terpilih Prabowo.
Di sinilah asumsi bahwa hubungan Jokowi Prabowo yang disebut-sebut sedang jauh dari kenyamanan memiliki dasar rasional. Seperti disampaikan oleh banyak pengamat sejatinya DNA Prabowo sebenarnya lebih dekat kepada Ibu Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan. Demikian pula platform Partai Gerindra lebih dekat ke PDI Perjuangan.
Dengan Jokowi? Lebih sebagai kedekatan mitra kerja, yang bisa saja hanya seumur jagung. Contoh sudah banyak. Seperti Mahfud MD, yang sebelumnya demikian memberikan dukungan kepada Jokowi, belakangan tak bisa menahan diri untuk berseberangan.
Di sinilah titik paling krusial hubungan Jokowi Prabowo. Kalau hubungan kepartaian sudah pasti bisa pasang surut karena pertimbangan kepentingan. Lha, bagaimana dengan Jokowi, yang tidak punya partai. Sementara PSI pun agaknya jauh dari ekspektasi.
Jadi, tampaknya memang akan banyak kejutan menarik, hubungan Jokowi Prabowo. Ungkapan arif, yang mengatakan bahwa matahari harus satu, tidak boleh kembar, menjadi penguat dugaan ketaknyamanan itu.