Dalam suasana umat Islam merayakan Idulfitri, teringat ucapan seorang ustaz yang menyampaikan bahwa tantangan terberat dalam berpuasa bukanlah menahan lapar dan haus. “Yang paling berat justru saat menjelang dan ketika berbuka,” ujarnya.
Mengapa demikian? Saat berpuasa, banyak orang mampu menahan rasa lapar dan haus dengan baik. Namun, ketika waktu berbuka tiba, sering kali godaan justru datang. Ingin makan ini dan itu, semua hidangan di meja tampak menggoda. Akibatnya, banyak yang makan berlebihan hingga kekenyangan. Mampu menahan lapar, tapi gagal menahan nafsu saat berbuka — ironis, bukan?
Fenomena serupa juga terlihat saat merayakan Idulfitri. Banyak orang seolah kehilangan kendali. Segala sesuatu ingin dibeli: pakaian baru, kopiah baru, sarung baru, berbagai makanan, hingga barang-barang yang sebenarnya tak ada kaitannya dengan makna Lebaran. Lebih miris lagi, ketika semua itu dipaksakan, bahkan sampai mengorbankan kondisi finansial.
Tradisi mudik dan berkumpul di kampung halaman pun tak luput dari gengsi. Penampilan harus ‘sempurna’. Jam tangan baru, cincin mencolok, hingga ponsel mahal menjadi prioritas. Bahkan ada yang rela menyewa iPhone demi tampil keren saat Lebaran. Permintaan sewa ponsel di berbagai daerah pun meningkat tajam menjelang hari raya. Sebuah fenomena yang menunjukkan kegagalan mengendalikan diri, seolah segala latihan selama Ramadan hilang tak berbekas.
Latihan pengendalian diri selama sebulan lamanya seolah menguap begitu saja saat Idulfitri tiba. Seperti bendungan yang jebol, semua tertahan justru tumpah ruah setelahnya. Nilai ‘imsak’ (menahan diri) yang dilatih selama puasa justru tidak terlihat bekasnya.
Dalam skala nasional, kondisi ini terlihat semakin nyata. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan lonjakan signifikan dalam penggunaan pinjaman daring (pinjol) dan layanan paylater menjelang Lebaran. Tercatat sekitar Rp78,5 triliun perputaran dana melalui pinjol dan paylater. Fenomena ini mencerminkan bagaimana sebagian umat lebih sibuk mengejar aspek simbolik dan aksesori keagamaan dibanding esensi dari ibadah itu sendiri.
Memang, kondisi ekonomi saat ini sedang tidak stabil. Daya beli menurun, dan pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi hal yang umum terjadi. Maka, bisa dimengerti jika ada yang terpaksa meminjam demi kebutuhan pokok. Namun, sulit diterima jika berutang hanya untuk memenuhi keinginan tampil mewah saat Lebaran — demi gaya hidup semata.
Puasa seharusnya menjadi momen untuk melatih kesederhanaan dan pengendalian diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Semangat menahan diri melemah, dan keinginan untuk memuaskan ego justru menguat. Di sinilah letak kerancuan berpikir sebagian umat: tidak mampu membedakan antara kebutuhan utama, kebutuhan sekunder, dan keinginan tersier.
Kita semua bisa memahami jika seseorang terpaksa meminjam demi biaya pendidikan, pengobatan, atau kebutuhan pokok. Tapi, ketika utang diambil hanya demi penampilan, maka itu bukan lagi soal kebutuhan, melainkan gaya hidup yang dipaksakan. Dalam kondisi ekonomi sulit, hal ini bukan hanya ironi — tetapi sebuah tragedi.
Gaya hidup memang mahal dan melelahkan. Namun, menjadi diri sendiri justru jauh lebih mudah dan murah. Sayangnya, masih banyak yang lebih memilih penampilan daripada esensi. Aneh, bukan?