Sekitar sepekan pasca lebaran Idul Fitri, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pernyataan tergolong dasyat. Presiden meminta penghapusan kuota impor terutama terhadap komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pernyataan tersebut disampaikan Presiden pada sesi dialog pada acara Sarasehan Ekonomi yang digelar di Menara Mandiri, Jakarta, pada Selasa, 8 April 2025.
Sangat dasyat karena memiliki dampak luar biasa pada perkembangan ekonomi nasional terutama terkait berbagai produk di dalam negeri serta efek dominonya. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ian Syarif misalnya, memaparkan bahwa jika pernyataan Presiden Prabowo Subianto benar-benar dilaksanakan berpotensi membuat industri tekstil nasional tak lagi diminati oleh pengusaha. Ian Syarif memprediksi 70% pelaku industri tekstil akan meninggalkan usaha tersebut lantaran sudah tidak menguntungkan. Hal ini lantaran tekanan dari banyaknya barang impor yang masuk ke Indonesia jika kuota impor tersebut dihapus. “Jadi 70% mungkin kalau prediksi saya dari industri akan pelan-pelan meninggalkan industri,” kata Ian dalam diskusi Forum Wartawan Perindustrian di Jakarta, Kamis (17/4/2025).
Itu baru tekstil. Belum berbagai produk lainnya, yang diproduksi di negeri ini. Apalagi jika kemudian merambah pada berbagai sektor pertanian. Akan makin nelangsa para petani dan rakyat negeri ini.
Sekedar perbandingan. Dalam kondisi masih dibatasi saja saat ini, berbagai produk dalam negeri demikian kelabakan menghadapi serbuan produk Cina. Sulit dibayangkan bagaimana jika kuota impor benar-benar dihapus.
Jika benar tujuan penghapusan kuota impor bagian dari upaya memerangi mafia impor, monopoli impor oleh pihak-pihak tertentu, penghapusan kuota jelas merupakan langkah jauh dari rasional. Bukannya menyelesaikan masalah malah menghancurkan potensi ekspor bahkan pasar di dalam negeri. Itu artinya, pabrik-pabrik akan tutup, pengangguran membengkak, petani kehilangan harapan, UMKM bangkrut yang efeknya angka kemiskinan dipastikan meningkat.
Ini masalah klasik, yang sudah mendarah daging di negeri ini. Seakan sudah menjadi peristiwa yang terulang dari pemerintah ke pemerintah lainnya.
Impor gula, beras, garam, bawang putih, kedelai, cabai dan berbagai produk lainnya, dengan kuota impor saja sudah sering menelan korban rakyat. Apalagi jika dibiarkan bebas, tanpa kendali sedikitpun.
Cerita-cerita pahit dan nestapa para petani, yang ketika panen pemerintah justru impor, seperti kisah ibu tiri pada anak tiri, yang selalu terulang. Seorang anggota DPR dari PPP Syaeful Anwar Husien, beberapa tahun lalu menyindir cepatnya respon pemerintah ketika harga cabai naik, yang langsung impor. Sebaliknya, katanya lagi, jika harga cabai jatuh melorot, yang merugikan petani, upaya menaikkan harga seperti menggerakkan keong untuk berlari.
Ya, sudah bukan cerita baru, kadang entah sengaja entah tidak, karena permainan importir atau kelakuan oknum pejabat, ketika petani sedang panen, pemerintah justru impor beras. Ketika di dalam negeri surplus gula, pemerintah impor gula.
Jujur soal impor ini, permainan para importir nakal yang kongkalikong dengan oknum pejabat yang merugikan kepentingan rakyat di dalam negeri, terlalu sering terjadi. Bisa dibayangkan betapa keterlaluan ketika negeri yang luas luar biasa ini impor singkong.
Masyarakat mungkin sudah lupa janji Prabowo saat kampanye, yang akan menghentikan berbagai impor namun ironisnya berbalik justru akan menghapus kuota impor. Yang diingat dan dirasakan masyarakat sekarang ini, kenyataan riil bahwa produk dalam negeri seharusnya mendapat perlindungan memadai dari pemerintah. Bukan malah membuka keran impor sebebas-bebasnya. Dampaknya sangat luar biasa, jika dibiarkan bebas, negara ini akan makin diserbu barang impor. Ya pabrik tutup, pengangguran meningkat, angka kemiskinan bertambah, lapangan kerja makin sulit. Belum lagi dampak kriminal ketika sebagian masyarakat yang terdesak ekonomi melakukan jalan pintas.
Ya, kita berharap penghapusan itu hanya sebuah wacana. Kita juga berharap, soal impor benar-benar diatur atas dasar kondisi mendesak ketika kebutuhan masyarakat tidak dapat dipenuhi ketersediaan di dalam negeri.