Oleh: MH. Said Abdullah
Beberapa kali proses hukum seperti pemeriksaan terhadap seseorang yang dianggap tokoh Islam, yang sudah menjadi tersangka maupun masih menjadi saksi menimbukan kehebohan berlebihan, di negeri ini. Uniknya, bukan terkait proses hukumnya melainkan ramainya pengerahan massa.
Proses hukum Rizieq Shihab, Alfian Tanjung dan terakhir pemanggilan Ketua Dewan Pembina PAN M. Amien Rais memunculkan kehebohan. Massa yang mengaku alumni 212 beramai-ramai mengantarkan M. Amien Rais yang diminta keterangan kasus kebohongan atau hoax Ratna Sarumpaet. Diawali sholat dhuha di sebuah Masjid sekitar Pancoran, Jakarta Selatan, massa kemudian beramai-ramai mengantar M. Amien Rais, ke Polda Metro Jaya.
Sejauh ini belum jelas apa pertimbangan pengerahan massa dalam jumlah relatif banyak itu. Padahal M. Amien Rais hanya diminta keterangan sebagai saksi. Belum sebagai tersangka. Itu artinya, masih sangat permukaan sekali persoalan hukum yang terkait M. Amien Rais.
M. Amien Rais sendiri sebagai seorang intelektual tampak “menikmati” sekali diiringi massa yang mengklaim alumni 212. Ia, yang sudah pasti memahami proses hukum sejauh ini belum pernah terdengar memberikan pencerahan kepada massa 212 bagaimana seharusnya menyikapi proses hukum. Misalnya, meminta tak perlu pengerahan massa agar proses pemeriksaan berjalan baik atau menenangkan masyarakat agar cukup mengikuti proses hukum tanpa perlu beramai-ramai mengiringi sehingga menimbukan kemacetan dan persoalan lalu lintas lainnya.
Pengerahan massa pada proses pemanggilan pemeriksaan aparat hukum apalagi masih sebatas saksi tak ada nilai urgensinya. Yang perlu dipertimbangkan justru dampak sosial yang potensial terjadi di tengah masyarakat. Sangat mungkin dapat mengganggu aktivitas keseharian masyarakat seperti kemacetan maupun gangguan ketertiban lainnya.
Jika kedatangan massa untuk mengikuti proses pengadilan misalnya, asal berjalan tertib mungkin masih bisa dipahami. Bisa jadi kehadiran di pengadilan untuk mengawal proses hukum, mengawasi hakim, jaksa termasuk juga para pembela. Ada alasan logis jika kehadiran massa -selama tetap tertib -dalam proses di pengadilan.
Karena itu masih menjadi tanda tanya apa pertimbangan pembiaran pengerahan massa terutama bila terkait seseorang yang dianggap sebagai tokoh Islam. Adakah ini terkait konfidensi dukungan atau menjadi semacam pressure hukum kepada aparat hukum? Mungkin pula sekedar pembuktian bahwa sosok itu memang memiliki dukungan massa?
Jika alasan pertama, menyangkut konfidensi atau rasa percaya diri, sudah pasti terasa aneh. Bukankah sosok yang akan diperiksa telah dianggap sebagai tokoh atau pemimpin di lingkungannya. Bukankah seharusnya ia meyakini apapun yang telah diperbuatnya memiliki konsekwensi termasuk yang bernuansa hukum. Ia seharusnya memiliki rasa percaya diri tinggi.
Masih ingat kasus Basuki Tjahya Purnama? Ia berani membusungkan dada dalam proses hukum dari sejak awal sampai keputusan pengadilan. Ia bahkan memutuskan tidak melakukan banding. Sebuah kesadaran meyakini apa yang diperbuat dan siap menerima resiko apapun dari yang diucapkan dan dilakukannya. Ia tidak lari ke negara lain.
Kalau alasan ingin menekan proses hukum jelas makin salah sasaran. Apalagi jika ternyata proses hukum itu justru didukung masyarakat luas seperti kasus kebohongan Ratna Sarumpaet. Aparat hukum bukan hanya atas dasar kometmen penegakan hukumnya bersikukuh tak akan pernah mau ditekan. Aspek lainnya adalah kesadaran memenuhi harapan penegakan hukum sebagian besar masyarakat yang menginginkan proses hukum terhadap kasus kebohongan agar dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Jika terkait faktor ketiga yaitu pembuktian mendapat dukungan makin kelihatan irrasionalnya. Seberapa besar dukungan pengerahan massa tak akan pernah mencerminkan representasi sesungguhnya dari sebuah dukungan. Apalagi jika ditarik ke parameter ilmiah antara popularitas dan elektabilitas; dua hal yang memerlukan bukti-bukti ilmiah dan obyektif.
Di sinilah penting bagi siapapun bahwa seharusnya proses hukum dibiarkan berjalan tanpa perlu diwarnai berbagai riak-riak kehebohan pengerahan massa. Mengawal proses hukum mutlak diperlukan tetapi tanpa perlu hiruk pikuk seperti tontonan sepakbola, konser musik dan sejenisnya. Biarkan semua berjalan normal dan dalam suasana tenang sehinga keputusan hukum sesuai semangat penegakan keadilan. (*)