KORANMADURA.com – Salah satu sumber penularan human immunodeficiency virus (HIV)/AIDS adalah penderita yang dalam keadaan hamil. Mereka berpotensi menularkan penyakitnya kepada bayi saat dilahirkan. Karenanya, mengetahui status HIV/AIDS pada ibu hamil (bumil) perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan.
Sayangnya, program skrining HIV/AIDS yang dilaksanakan pemerintah melalui rumah sakit (RS) milik pemerintah cakupannya masih sangat rendah. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan, pada 2018 dari total jumlah ibu hamil di Indonesia sebanyak 5.291.143 orang yang melakukan tes HIV hanya sekitar 13,38 persen (761.373) dan 2.955 orang diantaranya dinyatakan postitif. Sedang, yang mendapatkan terapi obat ARV (antiretroviral) dalam upaya menekan jumlah virus (VL), lebih sedikit lagi, yakni hanya 893 ibu hamil.
Ketua Yayasan Anak Pintar Bangkalan, Indah Nurani, mengatakan minimnya capaian target skrining HIV/AIDS pada ibu hamil itu disebabkan masih kurangnya upaya penyadaran yang dilakukan pemerintah HIV/AIDS masih belum merata dan massif.
Ia mencontohkan, kegiatan posyandu yang hanya berbicara soal kesehatan balita dan tidak disisipkan sosialisasi seputar HIV/AIDS. Padahal, kegiatan tersebut, cukup bagus sebagai salah satu media sosialisasi.
“Meskipun Posyandu merupakan kegiatan yang dikhususkan untuk balita, namun tidak salah jika didalamnya disisipkan penyadaran tentang HIV,” katanya.
Disamping itu, program-program di desa, saat ini masih belum ada yang berkaitan dengan upaya penyadaran akan pentingnya pemeriksaan darah bumil. Karena, sejauh ini program tersebut masih dianggap sebagai program Dinas Kesehatan dan bukan menjadi gerakan masyarakat.
Menurutnya, kegiatan penyadaran itu, bisa dimasukkan dalam pos bidang pemberdayaan masyarakat desa atau pos bidang pembinaan masyarakat desa. Sehingga sosialisasi bisa dilakukan secara merata melalui dana desa (DD) atau anggaran dana desa (ADD).
“Sebetulnya di masing-masing desa sudah ada Kander Pemberdayaan Masyarakat. Hanya sejauh ini mereka belum dimanfaatkan secara maksimal,” jelas Indah Nurani.
Ketua Lembaga Keluarga Sehat Lestari, Surabaya, Siyo Sundari, mengatakan, Sekalipun ibu hamil sudah melakukan pemeriksaan kehamilan oleh bidan dan di fasilitas kesehatan, namun hal itu tidak menjadi jaminan pencegahan penularan HIV/AIDS.
Sebab, tidak semua bumil bersedia diperiksa darahnya di laboratorium. Padahal, pemeriksaan darah itu merupakan langkah awal skrining, untuk mengetahui apakah ada kandungan virus HIV di dalamnya.
“Tidak semua ibu hamil bersedia melakukan pemeriksaan darah di laboratorium, sekalipun mereka melakukan pemeriksaan di Puskesmas yang memiliki fasilitas laboratorium,” katanya.
Siyo mengatakan, hampir semua Puskesmas di Indonesia sudah memiliki fasilitas pemeriksaan darah, terutama untuk ibu hamil, untuk mengetahui kandungan penyakit berbahaya yang dimungkinkan menular pada bayi. Namun, fasilitas tersebut jarang sekali digunakan meskipun pihak Puskesmas sudah menawarkannya.
Yang seringkali menjadi kendala dari pemeriksaan laboratorium ini, jelas dia, adanya rasa kawatir yang berlebihan, seandainya kandungan penyakit menular diketahui pasca pemeriksaan tersebut.
“Mereka lebih memilih malu dari pada kandungan penyakitnya diketahui untuk diobati sejak dini. Padahal hal ini sangat membahayakan bagi masa depan bayi yang dikandungnya,” ujar Siyo.
Dosen bidang kesehatan masyarakat di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya itu mengatakan, tantangan lain yang dihadapi dalam upaya menurunkan prevalensi orang dengan HIV di Indonesia, adalah minimnya pengetahuan masyarakat adalah adanya stigma negatif yang bukan hanya muncul dari masyarakat, melainkan juga dari tenaga kesehatan.
Di kalangan tenaga medis, kekawatiran akan tertular penyakit tersebut sedemikian kuat, sehingga ada sebagian mereka yang memilih menghindar dari pada ikut mengobati. Meskipun sebetulnya, tugas tersebut, merupakan bagian dari tanggungjawab yang harus dilaksanakan.
“Dan mereka sudah dibekali ilmu untuk penanganan penyakit itu sehingga kemungkinan tertular sangat minim,” katanya.
Sebagian besar masyarakat, lanjutnya, belum tahu tentang penyebab dan cara penularan HIV/AIDS. “Bahkan, ada rumah sakit yang menolak membantu pasien HIV untuk melahirkan dan merujuknya ke rumah sakit provinsi,” papar Eni.
Siyo menekankan, bahwa HIV hanya dapat ditularkan melalui darah dan cairan tubuh lainnya, yakni dengan cara berhubungan seksual, transfusi darah, atau penularan dari ibu ke bayi melalui proses melahirkan dan menyusui.
Oleh karena itu, ia mendorong agar skrining HIV pada ibu hamil terus dilakukan, bahkan diintegrasikan dengan penyakit lainnya seperti hepatitis. Skrining juga dilakukan terhadap pasangan ibu hamil agar upaya pencegahan bisa dilakukan lebih merata.(G. MUJTABA/ROS/VEM)