JAKARTA-Program mobil murah ramah lingkungan (LCGC) yang diluncurkan pemerintah berseberangan dengan dengan dua kebijakan mendasar yang tengah fokus diimplementasikan pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Program mobil murah ini justru bertolak belakang dengan upaya mengendalikan inflasi dan menekan impor.
Hal tersebut seperti dikatakan Deputi Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suhariyanto saat ditemui di Swiss-BelHotel Mangga Besar Jakarta, Rabu (25/9). “Iya sepertinya LCGC itu tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah mengendalikan inflasi dan juga impor,” kata Kecuk.
Menurut dia, produksi massal LCGC tentunya akan meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM), padahal sebagian besar BBM merupakan produk impor. “Karena mobil LCGC ini menggunakan BBM, tentunya akan ada peningkatan konsumsi BBM,” ujar Kecuk.
Dia mengatakan, apabila konsumsi BBM kembali tidak terkendali, maka tidak tertutup kemungkinan bagi pemerintah untuk menaikkan harga minyak. Sehingga, lanjut dia, laju inflasi menjadi tidak terkendali, sementara BI tengah mengupayakan menekan laju inflasi dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan moneter.
Dengan demikian, jelas dia, tidak terkendalinya inflasi dan impor, maka dipastikan defisit transaksi berjalan akan sulit ditekan ke angka yang lebih rendah. Pada akhirnya, ekspektasi pasar semakin tidak terkendali yang menyebabkan nilai tukar rupiah terus mengalami depresiasi.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Perindustrian telah menerbitkan kebijakan mengenai mobil murah dan ramah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.
Tidak Integratif
Sementara itu, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rofi Munawar mengatakan, kebijakan pemerintah soal LCGC tidak mendukung program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) untuk kendaraan bermotor.
“Pemerintah sering mengeluarkan kebijakan yang tidak integratif. Di satu sisi ingin mengendalikan konsumsi BBM, namun di sisi lain ada kebijakan LCGC yang bisa meningkatkan konsumsi BBM,” kata Rofi di Jakarta, Rabu (24/9).
Belum lama ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menerbitkan kebijakan mengenai mobil murah dan ramah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.
Menurut Rofi, meski pemerintah menyebutkan bahwa LCGC akan menggunakan pertamax, namun pada mobil murah tersebut tidak menggunakan teknologi yang mengharuskan untuk menggunakan BBM non-subsidi. Sehingga, lanjut dia, tidak menutup kemungkinan para pemilik mobil murah tersebut akan menggunakan BBM bersubsidi.
Kondisi ini, jelas dia, sekaligus menegaskan bahwa pemerintah cenderung mendorong tumbuhnya industri automotif tanpa memperhatikan penggunaan energi secara efisien dan ramah lingkungan. “Jaminan pemerintah kalau LCGC hanya akan digunakan di luar Jabodetabek dan akan ada sanksi bagi pengguna BBM bersubsidi, akan sulit diimplementasikan,” paparnya.
Lebih lanjut Rofi mengatakan, apabila LCGC ini diarahkan untuk menyasar kelompok yang belum memiliki mobil, secara logika pun mereka akan tetap memilih menggunakan BBM bersubsidi. “Pemerintah harus berpikir ulang dalam menerapkan kebijakan ini, karena implikasinya akan sangat luas terhadap sektor energi, transportasi maupun pola konsumsi publik,” tutur Rofi. (gam/bud)