PAMEKASAN, koranmadura.com – Keberadaan hutan mangrove di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, yang cukup luas, belum termanfaatkan secara maksimal. Hutan pohon yang memiliki kemampuan penyerapan unsur senyawa karbon dioksida (CO2) tersebut, masih dinilai sebagai pelindung daratan dari abrasi dan belum dimanfaatkan untuk kepentingan edukasi dan penelitian.
Sekretaris Forum Komunitas Hijau (FKH) Rampak Naong Pamekasan, Hesan Sruji, menyatakan, hutan mangrove yang ada di wilayah Pamekasan itu belum dimanfaatkan sebagai kawasan ekowisata dan wisata edukasi.
Padahal, keberadaan hutan pesisir tersebut, sangat potensial jika dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, seperti Hutan Mangrove Wonorejo, Surabaya dan beberapa hutan mangrove lainnya yang saat ini sudah banyak dikunjungi wisatawan.
“Nampaknya potensi itu belum dianggap sebagai potensi yang menarik, sehingga belum dicoba untuk dikembangkan,” kata Hesan, Senin 30 Desember 2019.
Hesan menjelaskan, keuntungan dari pengelolaan hutan mangrove sebagai ekowisata dan wisata edukasi ini antara lain sebagai kawasan penelitian bagi siswa serta pelatihan konservasi bagi siswa bidang pendidikan biologi.
Hutan mangrove di Pamekasan, merupakan hutan mangrove terluas kedua di Madura setelah Pulau Sepanjang di Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep.
Di wilayah itu, terdapat beberapa pesisir yang menjadi lokasi pengembangan hutan yang lebih dikenal sebagai hutan bakau itu antara lain, sepanjang pesisir Kecamatan Galis dan sepanjang pesisir Kecamatan Pademawu dan Tlanakan.
Dalam catatan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur, kawasan hutan mangrove Pamekasan menjadi tempat singgah burung pengembara (avian migran) yang berasal dari benua eropa menuju Australia dan tempat tinggal dari puluhan jenis burung air di antaranya kuntul (Egretta alba), Bangau Tongtong (Leptoptilos javanicus), Belibis kembang (Dendrocygna arquata), Pecuk ular (Anhinga melanogaster), dan jenis burung air lainnya.
Hal itu, disebabkan karena beragamnya jenis mangrove yang ada di hutan yang semuanya tersebar di pesisir selatan Pamekasan tersebut.
“Ini cukup menguntungkan untuk sebuah kawasan penelitian,” jelas Hesan.
Ketua Komunitas Sabuk Hijau, Slaman, mengatakan, kawasan hutan mangrove di Pamekasan memiliki 22 spesies.
Dari jumlah tersebut, paling dominan ada delapan jenis mangrove antara lain, api apit (Avicennia lanata), api-api (Avicennia marina), prapat (Sonnetaria Alba), pidada (Sonnetaria Casiolaris), Nyirih (Xylocarpus granatum), Tinjang (Rhizophora Apiculata), Bakau (Rhizophora Mucronata) dan Tinjang Kurap (Rhizophora Styosa).
“Hal itu, karena kedelapan jenis tersebut, bisa dimanfaatkan untuk ekonomi dibanding jenis lainnya,” kata Slaman.
Kedelapan mangrove tersebut, bisa dijadikan bahan baku untuk makanan seperti pudding dan dodol. Yang bisa digunakan untuk bahan ini adalah jenis Pidada. Jenis Api-Api bisa dijadikan tepung untuk kue.
Jenis lainnya seperti Nyirih, bisa dijadikan bahan untuk kosmetik dan sabun dan jenis tinjang, pidada dan api-api bisa diambil kulit kayunya untuk bahan pewarna pakaian.
“Ada pula yang memanfaatkan getah api-api sebagai bahan obat untuk sakit gigi,” jelas dia.
Karenanya, ia menyatakan kesetujuannya jika kawasan mangrove dijadikan kawasan ekowisata. Sehigga, pemanfaatannya tidak hanya sebagai kawasan anti abrasi, melainkan juga bermanfaat sebagai kawasan pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian.
Slaman sendiri bersama anggota komunitasnya, saat ini tengah mengembangkan usaha pemanfaatan buah mangrove untuk campuran kopi dan makanan jenis puding.
“Hasilnya lumayan untuk membantu ekonomi keluarga,” kata peraih berbagai penghargaan di bidang lingkungan hidup itu. (G.MUJTABA/ROS/VEM)