Oleh: MH. Said Abdullah*
Upaya menarik investor dari luar negeri agar menanmkan investasi di Indonesia memerlukan kerja keras seluruh pihak terkait. Pemerintah, termasuk pemerintah daerah, pengusaha, buruh serta pihak keamanan berkontribusi langsung dalam mempengaruhi minat investor untuk berinvestasi.
Pemerintah dan pemerintah daerah berperan besar dalam penataan regulasi. Ketika regulasi sangat ruwet, mempersulit investor, jangan harap akan ada invetasi masuk. Bagaimanapun pengusaha ingin semuanya mudah, ada kejelasan regulasi, proses efisien, efektif, produktif dan tentu saja menguntungkan.
Pengusaha akan lari bila dipersulit berbagai ragam aturan. Termasuk pula bila harus berhadapan aneka beban pungutan yang menyebabkan pengembangan usaha menjadi high cost sehingga prospek memperoleh keuntungan sulit diharapkan. Saat ini peringkat kemudahan bisnis di Indonesia (ease of doing business/EoDB) masih stagnan. Peringkat EoDB Indonesia berada di peringkat 73 dari 190 negara. Karena itu Presiden Jokowi sangat gencar mengupayakan peningkatkan peringkat kemudahan bisnis di Indonesia antara lain melalui pengajuan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang kini sedang dibahas di DPR.
Keamanan juga menjadi faktor menentukan. Seluruh pengusaha di dunia ini, hanya akan menanamkan investasinya di negara yang stabil, bebas dari gejolak politik serta ada jaminan keamanan dalam berinvestasi. Tidak ada ganguan keamanan, aparat keamanan mampu mewujudkan rasa aman pada seluruh investor.
Bagaimana dengan buruh atau tenaga kerja, adakah pengaruh terhadap fluktuasi investasi di negeri ini? Variabel buruh atau tenaga kerja termasuk faktor menentukan para investor jika akan berinvestasi di sebuah negara. Bahkan pada tataran mikro faktor tenaga kerja ini sangat menentukan minat dan kelangsungan pengembangan usaha.
Pertama, menyangkut kelayakan upah. Pengusaha akan memperhitungan apakah upah tenaga kerja di sebuah negara dapat terjangkau sehingga pengembangan usaha menguntungkan. Lagi-lagi ini terkait prinsip universal dari pebisnis manapun di dunia ini. Jika harus berhadapan keharusan membayar upah yang tinggi sehingga berdampak kerugian tentu saja pengusaha akan balik badan.
Di sini penting sekali pemerintah dan tenaga kerja mampu membangun sikap saling pengertian sehingga tidak muncul tuntutan upah jauh dari proporsional. Upah yang jauh dari proporsional jelas akan membuat investor lari sehingga semua pihak, termasuk tenaga kerja dirugikan karena akan kehilangan lapangan kerja.
Kedua, terkait skill tenaga kerja Indonesia. Di tengah persaingan usaha yang sangat ketat dan keras, pengusaha tentu saja membutuhkan tenaga kerja produktif, yang mampu mendukung daya saing perusahaan. Efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja mutlak menjadi prasyarat perusahaan apapun saat membutuhkan tenaga kerja.
Menarik mengkaji informasi dari Japan External Trade Organization (JETRO). Dalam rilis terbarunya menyatakan, sebanyak 55,8% perusahaan yang disurvei menyatakan ketidakpuasannya terhadap produktivitas tenaga kerja Indonesia bila dibandingkan dengan upah minimum yang dibayarkan.
Seperti disinyalir Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, ternyata ketidakpuasan perusahaan Jepang di Indonesia itu paling tinggi di Asia Tenggara. Angkanya 55,8% tidak puas. Sementara, rata-rata Asia Tenggara 30,6%. Kamboja masih lebih bagus yaitu 54%. Jadi di Indonesia masih lebih tinggi ketidakpuasannya dibandingkan Kamboja. .
Hasi survei LPEM Universitas Indonesia yang menyatakan upah minimum provinsi yang terus meningkat dapat mengancam pengurangan tenaga kerja perlu mendapat perhatian semua pihak. Ternyata kenaikan upah minimum sektor manufaktur 2015-2019, kenaikannya mencapai 98 dolar AS. Vietnam itu 51 dolar AS. Tetapi produktivitas tenaga kerja Indonesia itu 74,4% sementara Vietnam 80%. Jadi upahnya tinggi tapi produktivitasnya rendah. Faktor itulah yang menjadi penyebab ease of doing business itu rankingnya stagnan.
Di luar realitas terkait upah dan produktivitas yang kalah bersaing dengan negara lain itu ada faktor penting lainnya yaitu gejolak perburuhan. Kecenderungan dugaan tenaga kerja memasuki areal kepentingan politik seringkali menimbulkan riak-riak sehingga mengganggu kondisi dunia usaha dan perusahaan.
Berapa tidak mudah mewujudkan situasi kondusif untuk menarik investor ke dalam negeri. Mutlak diperlukan sinergi dan kerja keras serta kesadaran pemahaman semua pihak bila berharap investor tertarik menanam investasi di Indonesia. [*]
*Ketua Banggar DPR RI