SAMPANG, koranmadura.com – Akan terasa lengkap bilamana suasana hari raya Idul Fitri di hari ketujuh (7 Syawal) juga dirayakan dengan Lebaran Ketupat. Namun, walaupun perayaan ini tidak semeriah tanggal 1 Syawal, Lebaran Ketupat seakan merupakan puncak dari perayakan hari kemenangan.
Orang menyebutnya Tellasan Topa’ (Lebaran Ketupat). Masyarakat Madura mempunyai tradisi sendiri dalam merayakannya. Hal ini sudah berlangsung secara turun temurun dan masih berkembang hingga sekarang.
Bentuk ketupat sendiri yang dibuat oleh masyarakat Madura ada yang segi empat, segi tiga, tanduk sapi, masjid, dan sebagainya. Sesuai kreativitasnya.
Sementara jenisnya pun berbeda-beda. Ada yang menggunakan rakara/daun trebung (siwalan) ada pula yang selera menggunakan janur (daun kelapa).
Bagi yang tidak ingin ribet, penjual di pasar sebenarnya telah menyediakan atau menjual bungkus ketupat dari dua jenis daun yang berbeda itu. Harganya pun berbeda pula.
Seperti yang diungkapkan Rafia (55), salah seorang pedagang asal pantai utara Kabupaten Pamekasan. Dirinya menyebutkan harga orong topa’ (anyaman bungkus ketupat) dari bahan janur yaitu seharga Rp 5 ribu per 10 bungkus. Sedangkan yang berbahan daun siwalan seharga Rp 7 ribu per 10 bunkus.
“Perbedaan dari dua jenis daun itu, selain dari jenis pohon yang bebeda, juga dari ukurannya setelah dianyam yaitu lebih besar pada rakara (daun siwalan, red),” jelasnya kepada koranmadura.com, Sabtu, 30 Mei 2020.
Selain itu, yang menjadi perbedaan harga dari kedua bahan bungkus ketupat adalah hasil rebusan. Konon lebih beraroma jika memakai daun siwalan.
“Maka dari itu, ketupat dengan memakai daun rakara lebih diminati. Ya, meskipun harganya juga lebih mahal,” ungkapnya.
Kilas Sejarah Ketupat
Budayawan Sampang, Bambang Hariyanto menyatakan sejarah ketupat tidak lepas dari budaya Madura yang dilakukan setelah mudik dan akan balik ke tempat perantauan. Keberadaan ketupat dalam momen tersebut karena mudah, awet, dan praktis untuk dibawa saat bepergian.
Adapun jenis ketupat yang dikenal masyarakat yaitu ketupat berbentuk wajik atau bejhik (Bahasa Madura, red), Ketupat berbentuk masjid sebagai simbol keagamaan agar selalu menjalankan ajaran agama, Ketupat Pistol yang biasanya lebih disukai di kalangan anak-anak terutama anak laki-laki yang disertai irama dengan bunyi mercon.
“Kemudian Ketupat Sango yaitu mengandung makna agar dibawa bepergian atau Sango saat bepergian. Dan Lepet yaitu sebagai variasi dari aneka ketupat yang bahan pembuatannya menggunakan campuran beras padi dan beras ketan dengan isian parutan kelapa dan otok. Nah, dalam ajaran Islam, kita dianjurkan puasa sunah seusai lebaran Idul fitri sampai tujuh hari dan berakhir dengan lebaran ketupat,” paparnya.
Selain itu, bahan dasar yang biasa digunakan untuk membuat anyaman ketupat, yaitu menggunakan daun kelapa dan biasanya diambil pada bagian yang masih muda dan daun trebung (siwalan). Namun dari dua jenis daun itu, masyarakat lebih memilih dan menggunakan janur karena dianggap lebih mudah, terjangkau dan indah.
“Sedangkan daun trebung digunakan untuk membuat ketupat, biasanya sering dijumpai di kawasan pedesaan tertentu. Tapi dari hasil ketupat, ukuran ketupat menggunakan daun trebung lebih besar dan aromanya lebih harum serta lebih awet, karena lebih tebal jika dibandingkan menggunakan janur. Jadi, wajar jika harganya lebih mahal. Namun warga lebih memilih ketupat janur karena dilihat dari segi warna lebih indah dan menawan,” paparnya. (MUHLIS/DIK)