Oleh: MH. Said Abdullah*
Masih ingat salah satu momen debat Pilpres 2019 ketika Presiden Jokowi mengingatkan kebiasaan Cawapres Sandiaga Uno memaparkan kasus-kasus perorangan sebagai dasar berkonsepsi? “Kebijakan pemerintah tidak bisa hanya atas dasar kasus-kasus satu dua orang. Seluruh kebijakan pemerintah berdasarkan kajian, penelitian, pengamatan, survey dan lainnya yang mencakup seluruh wilayah Indonesia,” tegas Capres Jokowi, saat itu.
Sandiaga Uno sebelum diingatkan oleh Jokowi memang selalu menyebut beberapa nama-nama tertentu terkait berbagai kebijakan pemerintah. Lalu, dengan gagah atas dasar temuan satu dua orang itu mengangkatnya menjadi counter pada kebijakan pemerintah.
Tentu saja terasa lucu bagi mereka yang berpikir rasional. Mana mungkin keberhasilan dan kegagalan kebijakan pemerintah berpenduduk 270 juta dinilai dari laporan kasus satu dua orang. Dari satu provinsi saja jauh dari rasional apalagi dari satu kabupaten, satu kecamatan. Makin jauh dari rasional jika parameternya hanya orang perorang.
Kesalahan logika. Demikian biasa disebut cara berpikir hanya atas dasar kasus perkasus. Menolak dan membantahnya sangat gampang tinggal diambil contoh berbeda kasus perkasus juga.
Ini contoh kesalahan logika. Samad, Lutfi, Arifin di RT 04, RW 07 tidak menerima dana bantuan sosial. Bu Mamat yang janda, Sutina, Nurhayati tidak terdaftar penerima Bansos terdampak Corona, di RT 02 RW 03. Ditambah beberapa kasus lainnya di satu sampai lima sampai 10 RW lalu diambil kesimpulan bahwa penanganan Bansos gagal. Bermasalah.
Membantah kesimpulan seperti itu mudah sekali. Tinggal diberikan data dari RW berbeda yang sedikit lebih banyak lalu ambil kesimpulan bahwa Bansos berhasil. Selesai.
Jokowi tak melakukan bantahan kasus yang disampaikan Sandiaga dengan cara sama. Beliau memberi pelajaran kepada Sandiaga bahwa cara berpikir kasus perkasus atas dasar pengamatan selintas tak bisa dijadikan referensi pengambilan keputusan. Apalagi untuk keputusan pemerintah menyangkut nasib 270 juta jiwa yang berada di 34 provinsi, sekitar 500 daerah tingkat II dan ribuan kecamatan serta puluhan ribu kelurahan.
Pernah viral seorang lurah marah-marah kepada Bupati terkait pengelolaan Bansos. Si Lurah menganggap Bupatinya gagal karena kelurahannya kurang jatah Bansosnya. Kasus serupa mudah ditemui seperti Bupati seenaknya marah kepada Gubernur. Demikian pula Gubernur dengan gampang menyalahkan Presiden karena menganggap kebijakan pemerintah kurang sejalan kebutuhan provinsinya.
“Si Lurah belum pernah menjadi Bupati sehingga kurang memahami kesulitan Bupati. Bupati belum merasakan memimpin provinsi. Demikian pula Gubernur belum merasakan berada pada posisi seorang Presiden yang harus memperhatikan 34 provinsi,” jelas seorang sosiolog menggambarkan merebaknya protes dalam penanganan pandemi Covid-19.
Tak semua memang kasus saling menyalahkan karena kesalahan logika. Namun cara berpikir menyalahkan orang lain tanpa memahami posisi dan kewenangan serta cakupan keluasan persoalan sering terjadi.
Dalam skala lebih kecil mudah pula ditemukan kebiasaan menyalahkan hanya atas dasar kepentingan diri sendiri. “Pemerintah tidak becus. Saya seharusnya dapat Bansos eh tidak kebagian.” Begitu biasa muncul. Hanya karena dirinya tidak kebagian lalu menyalakan keseluruhan kerja pembagian Bansos.
Jika hanya mengeluh sebatas lingkungan dan persoalan menyangkut diri sendiri mungkin bisa dipahami. Yang berbahaya jika kemudian persoalan itu dilarikan seakan persoalan semua orang melalui pemanfaatan media sosial. Apalagi jika persoalannya sangat kompleks.
Di tengah penanganan pandemi Covid-19 seorang dokter di media sosial secara provokatif berceloteh panjang lebar menyebarkan asumsi hanya atas dasar pemahaman dan kepentingan diri sendiri. Ia bicara macam-macam mengajak masyarakat menantang kebijakan pemerintah new normal tanpa pijakan kajian ilmiah, penelitian, survei dan lainnya.
Jika sekedar memberikan masukan atau mengkritisi mungkin bisa dipahami. Tetapi jika bernuansa provokasi melalui media sosial jelas sangat berbahaya. Akan mudah mempengaruhi perilaku masyarakat atas dasar hipotesis, atau asumsi yang belum teruji. Masyarakat akan terseret perilaku jauh dari kerangka yang dapat dipertanggungjawabkan.
Entah berapa kali Kemkominfo mengklarifikasi berbagai pernyataan menyesatkan terkait pandemi Covid-19 termasuk yang bernuansa keagamaan. Beberapa sangat berbahaya bagi keselamatan masyarakat. Lainnya menimbulkan kepanikan yang dapat memicu konflik sosial. Ini belum termasuk hoaks yang disebarkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Siapapun perlu arif dan cermat dalam menyampaikan pemikiran apalagi jika menyangkut keselamatan masyarakat luas. Apalagi bila hanya atas dasar asumsi atau persepsi sebatas pemikiran selintas tanpa kajian mendalam.
Masyarakat perlu cermat dan hati-hati dalam bersikap. Jangan sampai sekedar mengikuti tanpa pengetahuan dan pemahaman dari segelintir orang tanpa kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
*Ketua Badan Anggaran DPR RI