JAKARTA – Masyarakat bisa melakukan pembangkangan sosial (civil disobedience) jika uang pajak yang dibayar rakyat tidak dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Pembangkangan sosial ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah agar mengalokasikan uang pajak tepat sasaran. “Kalau anggaran yang dibuat pemerintah ternyata tidak digunakan untuk hal-hal konkrit yang bersentuhan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat, saya kira wacana tunda bayar pajak itu masuk akal,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro di Jakarta, Senin (7/1).
Menunda membayar pajak, menurut dia merupakan salah satu bentuk pembangkangan sosial. Hanya saja, masyarakat sebagai pembayar pajak, tentu mempunyai hak untuk menuntut supaya pajak yang dibayar berguna bagi rakyat pembayar pajak. “Namun, jika ternyata apa yang dibayarkan tidak terlalu berguna bagi publik, diselewengkan atau dipergunakan untuk membayar sesuatu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh pemerintah, saya kira wajar bila muncul civil disobedience,” tegasnya.
Sayangnya lanjut Setyo, tingkat kesadaran warga negara masih rendah sehingga tidak pernah menuntut apa yang menjadi haknya kepada pemerintah. Padahal, sebagai pembayar pajak wajib, masyarakat berhak meminta pemerintah agar pajak yang dibayarkan berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan. “Di Barat ada istilah no taxation without representation. Artinya, kita tidak akan membayar pajak jika pajak yang dibayarkan itu ternyata digunakan untuk membayar hal-hal yang tidak ada manfaatnya bagi masyarakat,” ucapnya.
Karena itu, lanjut dia, kesadaran pembayar pajak ini harus ditingkatkan. Ini penting agar pemerintah sadar akan tanggungjawabnya. “Uang pajak ini kan uang rakyat. Makanya, semestinya harus kembali ke rakyat dalam bentuk publik service yang lebih baik,” tegasnya.
Penyelewengan uang pajak tidak boleh dibiarkan. Semua elemen masyarakat harus bersatu padu mengawalnya, bahkan bila perlu dengan bentuk pembangkangan sekalipun. Untuk itu, beberapa waktu lalu, Ponpes Tebuireng Jombang mengeluarkan maklumat menunda bayar pajak pada tahun 2013 mendatang. Alasannya, uang pajak rakyat selama ini lebih banyak dinikmati segelintir orang, diantaranya untuk mensubsidi bunga obligasi rekap perbankan.
Kepada wartawan koran ini, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI) Sasmito Hadinagoro menjelaskan soal kesalahan pengelolaan keuangan negara selama ini. Pengelolaan uang pajak rakyat ternyata banyak yang digelontorkan untuk membayar bunga obligasi rekap perbankan. Bukan main, besarnya bunga obligasi rekap tersebut tiap tahun nilainya mencapai Rp 60 triliun. Padahal, pembayaran bunga obligasi rekap tersebut, merupakan tanggung jawab para pemilik bank.
Menurut Sasmito, uang obligasi rekap tersebut seharusnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat, seperti subsidi kesehatan, pendidikan, dan subsidi bahan bakar minyak. Apabila pembayaran obligasi rekap masih terus dilakukan, maka utang negara yang kini mencapai Rp 2.000 triliun, akan membengkak menjadi Rp 3.000 triliun pada tahun 2033. “Ibarat iuran RT, jika pengurus RT menggunakan hasil iuran tidak sebagaimana mestinya, boleh dong kita sebagai warga menunda bayar iuran sampai pengurus RT bisa mempertanggungjawabkannya. Sama seperti pajak, kita bisa tunda bayar pajak jika tak digunakan dengan benar,” katanya.
Secara terpisah, pengamat ekonomi Universitas Kristen Indonesia, Tarcisius Sunaryo mengatakan impelementasi mengajak orang menunda membayar pajak itu sulit sekali. Karena membayar pajak itu dalam bentuk transaksi-transaksi yang secara otomatis memaksa masyarakat membayar pajak. “Misalnya, income tax. Income tax juga langsung membayar pajak. Paling PBB saja yang dimungkinkan untuk ditunda pembayaran pajaknya. Demikian juga dengan pajak kendaraan bermotor. Tetapi kalau gerakan tunda bayar pajak ini dilakukan secara bersama-sama, saya kira bisa saja,” jelasnya.
Dia mengaku, ajakan menunda membayar pajak sangat bagus. Paling tidak, ini memberi warning bagi pemerintah agar alokasi pajak lebih tepat sasaran. “Ada bagusnya juga kalau ada peringatan seperti itu,” ujarnya.
Dia melihat, alokasi pajak selama ini memang tidak tepat sasaran. Pajak dipungut oleh negara, namun belum dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Alokasi pajak yang rill itu belum menyentuh masyarakat. Misalnya, alokasi subsidi BBM. Yang menikmati subsidi BBM justru golongan masyarakat kelas atas,” pungkasnya. (gam/rah)