Oleh : MH. Said Abdullah
Persoalan pendataan penduduk masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang perlu terus dibenahi. Keluhan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang ruwetnya pengelolaan data penduduk belum lama ini, menjadi bukti kongkrit paling aktual. Disebutkan Sri Mulyani ada satu penduduk bisa memiliki hingga 40 nomor identitas dengan sistem sendiri-sendiri tersebar di berbagai lembaga.
Kesemrawutan data sudah pasti berpengaruh sangat besar terhadap keberhasilan berbagai kebijakan pemerintah. Betapapun baiknya sebuah kebijakan dan program pemerintah, bila tidak didukung basis data akurat, terintegrasi, sangat sulit mencapai hasil optimal.
Salah satu contoh terbaru terkait pemberian subsidi LPG 3 kilogram. Program ini sangat bagus sekali. Tidak hanya mengubah pemakaian minyak tanah ke LPG sehingga dapat menghemat anggaran pemerintah. Juga secara ekonomi sangat membantu masyarakat kurang mampu baik rumah tangga maupun pengusaha kecil.
Namun, karena akurasi data bermasalah, pemberian subsidi LPG dalam pelaksanaan ternyata tidak tepat sasaran. Akibatnya, efektivitas subsidi tidak mencapai tujuan optimal dalam mendorong perekonomian masyarakat kurang mampu.
Ternyata, selama ini, penerima subsidi LPG 3 kilogram jauh dari tepat sasaran karena hanya dinikmati masyarakat tidak mampu sekitar 24% dari total penyaluran. Sisanya atau sebesar 76% diketahui dinikmati orang kaya bahkan diduga para pejabat Pemerintah.
Masyarakat miskin dan rentan yang masuk dalam kelompok 40% hanya menikmati 26% dari subsidi listrik. Demikian pula dengan LPG 3 kg, 30% rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah hanya menikmati 24% dari subsidi LPG 3 kg, sementara 76% dinikmati oleh kelompok yang lebih mampu.
Secara normatif, sebagaimana konstitusi telah mengamanatkan bahwa penyaluran subsidi seharusnya bersifat tertutup atau by name by address. Masyarakat penerima terdata transparan dan sesuai parameter sebagai masyarakat kurang mampu. Sementara masyarakat yang terbukti memiliki kemampuan tidak boleh menikmati subsidi pemerintah. Dengan demikian, penyaluran subsidi bisa memberikan rasa keadilan dan melindungi masyarakat yang berhak menerima subsidi.
Dalam pelaksanaan kebijakan manajemen pengelolaan subsidi yang digunakan selama ini masih memiliki kelemahan yang mendasar, mulai dari validitas data, pengendalian harga hingga volume. Bahkan, di lapangan masih banyak ditemukan exclusion error dan inclusion error dalam realisasi pemberian subsidi. Indikasinya, masih banyak ditemukan, pihak yang seharusnya berhak menerima subsidi, tetapi tidak menerima. Sedangkan pihak yang seharusnya tidak berhak menerima, tetapi ikut menerima subsidi.
Sebenarnya, kebijakan pemerintah sejak era kepemimpinan Presiden Jokowi, telah dimulai penataan dan pembenahan berbagai subsidi pemerintah. Mulai dari subsidi BBM, Listrik, pupuk, LPG dan lainnya. Semuanya, bertujuan untuk mengefektifkan dan menfokuskan keseluruhan subsidi agar tepat sasaran. Masyarakat yang memenuhi syarat mendapat subsidi secara riil benar-benar menerima. Demikian pula, masyarakat mampu yang selama ini salah sasaran sehingga menikmati subsidi ditata dan dibenahi kembali. Ada upaya proporsionalitas serta ketepatan sasaran dalam seluruh kebijakan dan pelaksanaan subsidi.
Memetakan data kondisi masyarakat yang berjumlah sekitar 270 juta, yang bertebaran luas dengan kondisi geografis beragam memang sangat tidak mudah. Belum lagi jika mengamati kondisi kepulauan, kawasan terpencil, yang membutuhkan perjuangan berat para petugas ketika mendata. Munculnya berbagai kendala, yang kadang sama sekali tidak terkait langsung proses pendataan sering pula harus dihadapi para petugas.
Karena itu DPR terus memberikan dukungan langkah pembenahan pendataan terkait kondisi penduduk agar berbagai kebijakan pemerintah dapat berhasil sesuai yang direncanakan. Akurasi data mutlak menjadi titik tolak utama keberhasilan kebijakan dan pelaksanaan program pemerintah. Masyarakatpun diharapkan membantu upaya seluruh petugas ketika proses pendataan dilaksanakan. Data akurat kebijakan dan program dapat memberikan manfaat.