Oleh: Miqdad Husein (*)
Masyarakat pernah menyaksikan beberapa tokoh dunia melakukan tindakan konyol menyikapi pandemi Covid-19 dengan menolak memakai masker. Sebut saja mantan Presiden Donald Trump, Herman Cain, mantan kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Richard Rose, mantan tentara Amerika Serikat. Ketiganya akhirnya terinfeksi, tokoh kedua dan dan ketiga belakangan meninggal dunia.
Masih banyak deretan para pesohor, yang merespon pandemi Covid dengan sikap mengentengkan. Mereka menganggap Covid-19 tak jauh berbeda dengan penyakit flu biasa sehingga masker, cuci tangan dan jaga jarak dianggap tidak perlu.
Di negeri ini, kekonyolan jauh lebih dasyat lagi. Bukan dalam merespon anjuran pemerintah dalam menghadapi pandemi sehingga menolak menerapkan protokol kesehatan. Tingkat kekonyolan jauh lebih mencengankan lagi dengan sama sekali tidak percaya bahwa ada Covid-19 .
Kekonyolan paling sempurna ketika seorang pria asal Jombang bernama Masudin menghirup nafas pasien Covid-19. Pelaku adegan berbahaya yang sempat viral akhirnya meninggal dunia.
Memang sampai saat ini belum ada kejelasan apakah Masudin meninggal karena terinfeksi Covid-19 atau sebab penyakit lain. Namun tindakannya, sangat kontradiktif dan lebih mirif demontrasi para pesulap. Sebuah tindakan sangat berbahaya.
Kasus lebih terkesan intelektual namun konyol diperlihatkan lagi oleh seorang dokter bernama Lois Owien. Ia dengan yakin menganggap Covid-19 tidak ada. Lebih parah lagi dokter Lois menyebut kematian pasien Covid, yang di Indonesia telah mencapai angka lebih dari 70 ribu dan dunia lebih 4 juta, karena salah obat melalui interaksi antar obat. Lois juga menyebut vaksin tidak perlu karena merupakan bagian dari kepentingan bisnis.
Kekonyolan lain yang tak kalah berbahaya bernuansa agama. Banyak ustad dalam berbagai kesempatan meneriakkan Covid-19 tak ada. Mereka menentang anjuran sholat di Masjid dengan tudingan-tudingan sarkastis kepada pemerintah. Tidak aneh jika di Jakarta, episentrum penyebaran Covid-19 masih mudah ditemui masjid melaksanakan sholat Jumat dan sholat wajib lainnya mengabaikan protokol kesehatan.
Inilah realitas sosial di tengah masyarakat. Sebuah kondisi yang memberikan pemaparan betapa tidak mudah memutus pandemi. Berbagai upaya keras pemerintah dan masyarakat, termasuk kerja keras bertarung nyawa para tenaga kesehatan, masih harus berhadapan pikiran dan perilaku konyol sebagian masyarakat, yang relatif banyak. Sebuah survey SMRC menyebutkan, terkait vaksinasi saja misalnya, ada sekitar 30 persen masyarakat yang tidak mau divaksin.
Berbaga perilaku itu belum menyertakan aktivitas warga yang masih bersikeras melawan berbagai pembatasan pemerintah. PPKM misalnya, masih belum berjalan efektif karena pengaruh berbagai pemikiran konyol dan sikap ngeyel sebagian masyarakat. Tindakan pemerintah daerah Surabaya, yang melakukan tracing di Suramadu bukannya didukung malah penyekatan diterobos. Saat diberlakukan larangan mudik, bukannya menyadari malah dengan berbagai cara terus berusaha melabrak keputusan pemerintah.
Dengan menyaksikan berbagai kekonyolan dan ketakdisiplinan super parah sehingga kasus terinfeksi sempat mencapai angka lebih 50 ribu, masih saja berhadapan terutama politisi petualang yang tetap menyalahkan pemerintah baik kebijakan maupun tindakan tegas yang dicoba diterapkan. Mereka tidak memberikan solusi malah berpikir mengedepankan syahwat politik.
Deretan berbagai realitas dan budaya di tengah masyarakat membuat siapapun yang menjadi pemimpin akan mengalami kesulitan luar biasa. Pemerintah bersikap tegas dan keras, akan berhadapan ketakdisiplinan masyarakat yang sangat parah termasuk tudingan pelanggaran HAM. Belum lagi jika kemudian memahami lebih serius lagi persoalan anggaran pemerintah.
Mereka yang mengerti masalah ekonomi dan persoalan APBN dan APBD, pasti mengetahui bahwa kondisi keuangan negara dalam keadaan normal saja masih jauh dari ideal. Apalagi ketika harus berhadapan pandemi, yang telah membuat seluruh negara di dunia terdampak secara ekonomi.
Ini bukan lagi persoalan kemampuan kepemimpinan nasional. Siapapun yang memimpin negeri ini akan mengalami kesulitan mendasar bahkan dalam kondisi normal sekalipun. Dari postur APBN dan APBD yang jauh dari ideal maupun deretan pemikiran dan perilaku masyarakat menyikapi pandemi yang diwarnai pula berbagai perilaku konyol, sungguh sangat berat upaya memutus pandemi.
Beruntung dua organisasi besar Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah serta berbagai Ormas lain, masih menjadi kekuatan penting dalam menopang keberadaan dan perjalanan negeri ini. Kekuatan dan kesadaran kecintaan berbagai Ormas itu menjadi penjaga dan pengamanan luar biasa, terutama menghadapi syahwat politik para petualang politik, yang mengail di air keruh kondisi pandemi.
Beruntung semangat gotong royong, kebersamaan dan persaudaraan masyarakat yang melekat kuat, menjadi energi luar biasa negeri ini, dalam menghadapi kedasyatan pandemi. Masih mudah ditemui dan mewarnai kehidupan keseharian sikap peduli dan saling membantu. Sebuah kekuatan, yang diyakini dapat membawa bangsa Indonesia segera ke luar dari krisis akibat pandemi. Semoga. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.