Oleh: Miqdad Husein (*)
Dua kasus hukum mendapat perhatian dan reaksi luas masyarakat negeri ini. Pertama, pencabutan izin Aksi Cepat Tanggap (ACT), sebuah lembaga pengumpul dana masyarakat. Kedua, pencabutan izin operasional Pesantren Shiddiqiyah Jombang terkait kasus dugaan pencabulan santriwati.
Reaksi yang berkembang, yang layak dicermati ketika berbentuk protes keras terhadap keputusan pemerintah. Sayangnya jauh dari rasional serta terjebak kesalahan logika. Terhadap pencabutan izin operasional pesantren Shiddiqiyah dibandingkan dengan berbagai kasus asusila di lembaga non-Islam yang pernah diberitakan. “Mengapa pada kasus pencabulan asusila lainnya, lembaga bersangkutan tidak dicabut izinnya. Mengapa izin pesantren Shiddiqiyyah dicabut hanya gara-gara oknum diduga berbuat asusila,” papar beberapa pernyataan yang beredar di WhatsApp, yang disertai link-link kasus asusila di lembaga non-Islam.
Sebuah reaksi wajar namun sayangnya mencerminkan sikap ambivalen. Di satu sisi memprotes pencabutan izin pesantren dengan alasan seharusnya jika hanya oknum yang diduga melakukan tindakan pidana, lembaga tak perlu dibubarkan. Namun, ironisnya, mempertanyakan lembaga lain, yang terjadi kasus sama, mengapa lembaganya tidak dibubarkan. Seharusnya pikiran dan protes serta reaksi konsisten. Oknum berbuat kriminal, lembaga apapun tidak boleh dibubarkan. Jangan karena lembaga kelompoknya diprotes tak boleh dibubarkan, lembaga lain justru didorong dan dituntut dibubarkan. Alamak.
Secara berpikir linier tentu disepakati bahwa tidak seharusnya lembaga dibubarkan karena tingkah laku salah satu oknumnya. Ini logika hukum universal. Jadi, misalnya ada oknum partai melakukan korupsi, tidak serta merta partainya dibubarkan. Silahkan diproses hukum oknum bersangkutan yang diduga melakukan tindak pidana.
Dalam konteks lebih luas, sebuah negara dan pemerintah tidak dapat dianggap melakukan tindakan pelanggaran HAM, jika berbagai kekerasan dilakukan oleh oknum pejabat pemerintah. Seorang oknum polisi, yang diduga membunuh tiga, dua, orang demonstran tidak lantas dapat menuduh negara dan pemerintah melakukan pelanggaran HAM.
Sebuah negara dan pemerintah dianggap melakukan pelanggaran HAM jika memang terbukti secara sistematis, terstruktur dan massif ada keterlibatan langsung maupun tidak langsung. Yang langsung misalnya, menggunakan perangkat normatif UU. Yang tidak langsung berbentuk pernyataan atau apalah. Yang pasti ada keterlibatan negara dan pemerintah.
Demikian pula, pada skala lebih kecil, jika sebuah lembaga pesantren atau sekolah, ternyata minimal membiarkan apalagi sampai memberikan pembelaan, melindungi salah satu oknumnya yang diduga melakukan tindak pidana, secara tak langsung memberikan penegasan keterlibatan kelembagaan. Jauh berbeda jika lembaga bersangkutan misalnya, langsung menindak oknum atau memberikan kesempatan seluasnya kepada aparat hukum untuk memproses hukum.
Pada titik inilah mengapa pemerintah langsung mencabut izin operasional Pesantren Shiddiqiyah. Sebab, secara kasat mata lembaga bukannya menyerahkan oknum yang diduga terlibat asusila, malah melindungi. Bahkan, melakukan perlawanan dan menghalang-halangi serta diduga melalui pengerahan massa. Apalagi pimpinan lembaga, secara terbuka diduga juga justru memprovokasi untuk melawan aparat hukum.
Jika dari sejak awal pimpinan Pesantren menyerahkan oknum bersangkutan atau mempersilahkan aparat hukum mengambil langkah hukum, diyakini tak akan ada pencabutan izin operasional. Paling berat akan ada verifikasi atau investigasi apakah sistem di lembaga itu memiliki kelemahan. Rekomendasinya, bisa merupakan teguran, perintah perbaikan dan lainnya. Jauh dari kemungkinan pencabutan izin operasional.
Pencabutan izin ACT oleh Kementrian Sosial kemungkinan memiliki langgam sama. Pemerintah melalui Kemensos diyakini tidak akan bertindak gegabah. Pasti memiliki bukti kuat mengapa langsung mencabut izin ACT. Sebagaimana diberitakan berbagai media, pelanggaran ACT antara lain terkait aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “Pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10% (sepuluh persen) dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan”.
Pada kasus ACT ini sangat jelas, bukan kesalahan oknum semata bahkan telah menjadi ketentuan resmi lembaga bersangkutan. Artinya, kesalahan bersifat integral kelembagaan. Ini belum lagi penyaluran dana, yang diduga salah sasaran. Jadi, wajar saja jika kemudian Kemensos mencabut izin ACT.
Tindakan pemerintah mencabut izin operasional Pesantren Shiddiqiyah sangat beralasan dan bahkan merupakan keputusan yang mutlak perlu dilakukan dengan tentu saja, nantinya diproses secara adil sesuai ketentuan perundang-undangan. Langkah itu penting untuk melindungi nama baik pesantren lain, yang jumlahnya lebih dari 30 ribu. Jangan sampai seperti kata peribahasa, nila setitik merusak susu sebelanga; karena ulah satu lembaga, pesantren lain yang jumlahnya ribuan ikut tercemar namanya.
Berpikir adil memang berat. Bertindak adil itu mutlak harus dilakukan. “Janganlah kebencian kepada satu kaum, lantas bertindak tidak adil. Tegakkan keadilan, karena keadilan dekat dengan ketaqwaan.” Pesan tegas dan indah dari Al Quran surat Al Maidah ayat 8. (*)
*Kolumnis, tinggal di Jakarta.