Oleh: Miqdad Husein
Kejahatan dunia maya, digital, makin menggila dan canggih. Segala cara ditempuh para pelaku tindakan haram itu untuk mengelabui korban.
Para pelaku sangat jeli memanfaatkan kelengahan, kecerobohan dan ketakpahaman korban.
Sekedar contoh, kejahatan penipuan perbankan misalnya, yang jadi sasaran para nasabah pensiunan, berusia lanjut, atau masyarakat bawah, yang pemahaman tentang dunia digital relatif kurang.
Pemilihan sasaran menegaskan betapa pelaku kejahatan memperhitungkan secara matang calon korban.
Nasabah bank-bank kalangan menengah ke atas kalau toh ada, sangat jarang.
Para pelaku kejahatan memahami sangat cermat kemana arah penipuan serta siapa sasaran korban.
Berbagai modus teknik dan kecanggihan pelaku penipuan sudah menjadi rahasia umum. Selalu mereka maju lebih cepat dari pemahaman dan kesadaran korban.
Ketika penipuan melalui penyebaran aplikasi undangan digital melalui jejaring whatsApp makin diketahui masyarakat, mereka beralih menggunakan media sosial seperti twitter, facebook, Istagram dan lainnya.
Caranyapun makin nyelimet. Mereka terlebih dahulu menghack account lalu berlagak sebagai teman atau follower lalu memasang jaring penipuan. Luar biasa.
Yang menjadi masalah, ketika penipuan makin canggih dan terus berkembang, kesadaran kolektif masyarakat termasuk pengguna media sosial, sangat kurang.
Mereka cenderung bersikap apatis. “Sangat kurang kepekaan sosialnya untuk menyelamatkan teman-teman media sosialnya,” kata mantan Ketua DPRD Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulaiman Husen.
Seorang pengguna media sosial sempat memposting pengalaman buruk ponakan istrinya, yang tertipu aplikasi undangan, sehingga rekeningnya terkuras habis.
Pengalaman buruk itu disebarkan melalui facebook dengan berbagai penjelasan termasuk pula informasi apa saja, yang digunakan para penipu.
Sayang, penjelasan dan informasi penting itu hanya sebatas dilike atau direspon suka saja.
Puluhan yang ‘ngelike’ tapi sedikit sekali yang menyebarkan atau membagikan pada kawannya.
Jelas sekali sikap yang hanya ‘ngelike’ tidak mencerminkan kesadaran untuk bersama-sama memerangi praktek penipuan dunia maya.
Jika mereka memiliki kesadaran akan langsung menyebarkan dan membagikan sehingga diketahui oleh teman-teman atau followernya. Itu berarti membantu menyelamatkan kawan-kawannya agar waspada dan tak tertipu.
Melalui penyebaran itu, diyakini kawan-kawannya yang membaca akan terselamatkan dari penipuan sehingga minimal berkurang korban penipuan.
Di twitterpun hal serupa terjadi. Informasi yang disampaikan kawan tadi melalui twitter tidak ada satupun yang meretwet. Padahal jika terus disebarkan para pengguna twitter, yang membaca akan waspada sehingga tak tertipu. Di media sosial lainnya, seperti Istagram juga sama saja respon untuk menyebarkan sangat rendah.
Terpapar jelas, sudah kalah pada praktek penipuan dari segi kecanggihan dan kepiawiannya, respon preventifpun agar tidak ada korban lainnya sangat kurang. Seharusnya ada kesadaran merespon sebagai tindakan preventif agar kawan-kawan lainnya, tidak menjadi korban.
Penggunaan media sosial agaknya lebih tertarik hal-hal yang terkesan besar seperti soal Pilpres dan politik lainnya.
Bagaimana menyelamatkan kawan dan masyarakat lainnya, masih kurang. Bisa jadi, mungkin belum menjadi korban atau di lingkungan sosial terdekatnya, belum terdengar korban penipuan.
Memerangi kejahatan media sosial, dunia maya, dunia digital memerlukan kebersamaan -minimal dalam penyebaran informasi.
Apapun yang diketahui tentang modus penipuan perlu disebarkan bersama-sama, sebagai respon preventif, agar tidak ada korban atau kalau sudah terjadi, korban tidak bertambah.
Ayo aktif saling bantu dan peduli untuk keselamatan bersama dari para pelaku penipuan.