JAKARTA, Koranmadura.com – Terus berupaya meningkatkan mutu produk ekspor dari berbagai sektor, termasuk dari sisi keamanan pangan, Indonesia mengikuti Pertemuan Komite Codex untuk Sistem Inspeksi dan Sertifikasi Ekspor Impor Produk Pangan (Codex Committee on Food Import and Export Inspection and Certification Systems/CCFICS) Putaran ke-26 pada1—5 Mei 2023 di Ciawi, Jawa Barat.
Kegiatan yang dilaksanakan secara hibrida ini turut dihadiri seluruh negara anggota Codex, organisasi anggota (Uni Eropa), pengamat (observer) dari international governmental (IGOs), non-governmental organizations (NGOs),dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Sedangkan, Delegasi Indonesia dipimpin oleh Direktur Standardisasi dan Pengendalian Mutu Matheus Hendro Purnomo.“Saat ini,isu ketertelusuran (tracebility) merupakan salah satu titik kritis dalam system keamanan pangan nasional. Oleh karena itu, kemampuan suatu negara dalam mendeteksi ketidaksesuaian menjadi tantangan tersendiri. Pemerintah harus dapat bersaing di pasar global seiring dengan pengembangan teknologi dan peningkatan sumber daya manusia,”jelas Hendro, seperti dilansir kemendag.go.id.
Standar dan pedoman Codex bersifat sukarela namun kedua hal ini menjadi semakin penting sejak ditetapkan dalam Perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriersto Trade (TBT) WTO sebagai standar yang diacu untuk keamanan pangan dalam perdagangan internasional.
Pertemuan CCFICS ini merupakan mandate Codex Alimentarius Commission (CAC) dalam menyusun standar dan pedoman pangan internasional dalam perlindungan konsumensertauntuk memastikan praktik adil dalam perdagangan pangan. CCFICS sendiri merupakan salah satu komite di bawah CAC yang bertugas menyusun standar dan pedoman Codex terkait sistem inspeksi dan sertifikasi. Baik untuk produk ekspor,maupun impor Indonesia melakukan beberapa intervensi terkait penyusunan pedoman proses penyetaraan Sistem Keamanan Pangan Nasional antar negara, pedoman penyelenggaraan remote audit dan inspeksi, serta pedoman terkait bagaimana otoritas kompeten mendeteksi jenis dari Tindakan ilegal terkait pangan (food fraud). Indonesia juga mendukung penyusunan pekerjaanbaru (new work) mengenai traceability.
Hendro optimis intervensi yang dilakukan Indonesia dapat menghasilkan standar dan pedoman untuk sistem keamanan pangan dalam rangka kelancaran perdagangan dan dapat dimanfaatkan oleh usaha kecil menengah dalam peningkatan akses pasar.
“Food Business Operator (FBO) merupakan salah satu obyek dalam penyusunan pedomanini. FBO dapat berasal dariusaha kecil menengah (UKM) seperti industri rumah tangga. Oleh karena itu, kami telah melalukan intervensi agar pedoman yang dibahas tidak terlalu ketat dalam penerapan teknologi, sehingga pedoman dapat juga bermanfaat bagi usaha kecil, terutama bagi UKM yang ingin melakukan ekspor,” pungkasnya. (Kunjana)