JAKARTA, Koranmadura.com – PDI Perjuangan akan tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjalankan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2024.
Meskipun sistem ini mengandung banyak kelemahan dan tidak akan dapat menciptakan sistem demokrasi yang lebih baik di Indonesia.
Hal itu dikatakan Ketua DPP PDI Perjuangan HM Said Abdullah di Jakarta Jumat 16 Juni 2023 menanggapi putusan MK atas uji materi undang-undang Pemilu sehari sebelumnya.
“Sikap PDI Perjuangan siap menerima Putusan MK. Apa pun hasilnya,” kata Said Abdullah.
Said Abdullah meneruskan, “Oleh sebab itu sistem pemilu dengan sistem proporsional terbuka kita terima dan kita jalankan. Namun ada sejumlah kelemahan yang menyertainya dan harus kita perbaiki bersama-sama ke depan.”
Adapun sistim proporsional terbuka ini, kata Said Abdullah, menyimpan begitu banyak masalah.
Pasalnya, sistem proporsional terbuka ibaratnya kontestasi “open menu” caleg antar dan intern partai. Caleg yang mendapatkan perolehan suara besar dalam satu dapil (daerah pemilihan) bisa merasa dirinya lebih besar dari partainya. Padahal dia bisa menjadi caleg dan dipilih oleh rakyat karena partai politik mengajukannya.
“Karena merasa lebih hebat dari partainya, maka yang bersangkutan tidak merasa harus terikat dengan aturan dan nilai-nilai, serta kegiatan yang dijalankan oleh partainya. Fonemena seperti ini terjadi hampir di semua partai. Apalagi partai-partai yang tingkat partai ID (Party Identity)-nya rendah,” ujarnya.
Watak individualisme, jelas Said Abdullah lagi, sebagai residu dari sistem proporsional terbuka ke depan harus dibenahi. Memang undang-undang pemilu memberikan mekanisme penggantian antar waktu. Namun penyelesaian dengan mengedepankan jalan seperti ini juga tidak memberikan win-win solution.
“Oleh sebab itu perlu ditekankan dalam undang-undang pemilu bahwa setiap caleg harus terbukti mengikuti berbagai jenjang kaderisasi kepartaian sebagai syarat pencalonan,” imbuhnya.
Sistem proporsional terbuka juga membuat ideologi, cita-cita, dan garis perjuangan partai tidak dipahami dan tidak dijalankan dengan penuh hikmat oleh anggota partai.
“Akibat lebih jauh, kita makin menyaksikan kultur pragmatisme politik dalam setiap pengambilan keputusan keputusan publik,” pungkasnya. (Sander)