JAKARTA, Koranmadura.com – Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar, mengungkapkan bahwa saat ini mayoritas rakyat Indonesia sedang merasakan buramnya demokrasi Indonesia.
Karena itu, Zainal menawarkan, di waktu singkat jelang pemilu 2024, dibuat aturan yang membatasi wewenang presiden, dengan mengacu pada model lame duck di Amerika Serikat (AS), sehingga Presiden Jokowi benar-benar menjadi bebek lumpuh.
Hal itu disampaikan Zainal saat diskusi bertajuk ‘Menyelamatkan Demokrasi dari Cengkeraman Oligarki dan Dinasti Politik’ di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa 14 November 2023.
Hadir juga sejumlah tokoh dalam diskusi itu, di antaranya guru besar emeritus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Franz Magnis Suseno, pengamat politik Ikrar Nusa Bakti, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dua pakar hukum tata negara lainnya Bivitri Susanti dan Rafly Harun.
Zainal membeberkan rentetan peristiwa dari pengajuan batas usia Capres-Cawapres, putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pelanggaran etik berat Hakim MK Anwar Usman hingga majunya putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi potret buram demokrasi saat ini.
Zainal mengatakan, rentetan peristiwa itu harus menjadi panggilan bagi semua pihak untuk menyelamatkan demokrasi.
“Saya kira kita sudah berhadapan dan selesai pembicaraan kita soal buramnya demokrasi. Nah sekarang adalah musim panggilan untuk menyelamatkan demokrasi,” kata Zainal.
Zainal menilai tidak wajar untuk negara seperti Indonesia dengan sistem presidensil, tidak membatasi sedikit pun soal wewenang presiden ketika proses transisi jelang Pemilu.
Di Amerika Serikat dan beberapa negara pembatasan wewenang presiden pada masa transisi menjelang pemilu disebut dengan istilah lame duck atau bebek lumpuh.
Presiden itu harus dibatasi karena sangat potensial menggunakan kekuasaannya secara salah.
Apalagi, presiden incumbent yang sangat mungkin menggunakan kekuasaannya untuk mendorong calon tertentu untuk menjadi the next presiden.
“Nah kita tidak mengatur apa-apa soal apa lame duck itu, padahal di beberapa negara itu diatur. Misalnya presiden sudah tidak boleh lagi mengambil langkah-langkah penting yang berkaitan dengan keuangan dan berkaitan dengan jabatan. Itu enggak boleh lah dihalangi,” jelas dia.
Dia meneruskan, “Indonesia itu sama negara yang sama sekali tidak mengatur lame ducknya seorang presiden padahal bahaya sekali.”
Zianal juga mengkhawatirkan, tanpa pembatasan wewenang presiden, terjadi gejala penggunaan uang negara secara berlebihan.
Cirinya adalah akan muncul program-program bantuan langsung tunai atau BLT kepada masyarakat jelang Pemilu.
Zainal menilai, hal-hal itu bakal dilakukan untuk meninabobokan rakyat dan lupa atas problem demokrasi yang dilakukan oleh pengusaha untuk memuluskan calon yang didukung.
Padahal, dia menyebut, BLT yang diberikan merupakan uang rakyat dan bukan uang presiden.
“Itu menjadi bahan yang paling mungkin dipakai untuk meninabobokan publik. Sebab itu uang kita sebenarnya yang di disalurkan ulang,” ujarnya.
Dia meneruskan, “Jadi jangan sampai kemudian seakan-akan membahasakan itu menjadi uangnya Presiden. Dan seakan-akan itu harus menjadi (bagian dari) the next presiden, atau the next wakil presiden (yang didukung presiden yang sedang berkuasa).”
Salah satu penyalahgunaan wewenang oleh presiden pada masa transisi seperti ini, lanjut Zainal, adalah penggunaan aparat negara.
Menurut dia, TNI-Polri sebenarnya harus keluar dari proses pemilihan karena sebagai armed forces, memiliki kekuatan untuk memaksakan sesuatu.
“Kalau aparat negara itu tidak netral maka saya kira itu adalah intervensi armed forces melalui pintu belakang dan itu berbahaya tentu saja buat demokrasi,” katanya. (Gema)