Pintar Masak itu Penting Bagi Muslimah
Perempuan memang perlu menuntut emansipasi. Meskipun begitu, perempuan juga tidak ada salahnya ngurus dapur keluarga sendiri. Bahkan menurut Siti Nurul Hidayah ini, pintar masak itu merupakan bagian dari esensi kehidupan seorang perempuan muslimah. Sebab pintar masak itu dapat mendatangkan banyak keberuntungan. Salah satunya melindungi suami dari resiko buruk, makin menghangatkan keakraban suasana dalam keluarga, sehingga peluang terbentuknya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah semakin besar.
Memang tidak banyak perempuan yang setuju bila dikatakan perempuan identik dengan urusan dapur. Itu juga sebenarnya pendapat yang tidak terlalu salah, meski juga tidak terlalu benar. Sebab apabila perempuan tidak mau ada di dapur, apa lantas kaum lelaki yang disuruh menanak. Ini juga kan bukan prestise bagi kaum Hawa. Perempuan yang benar-benar muslimah pasti mengerti bahwa Islam tidak menghendaki yang semacam ini. Sebab itu memposisikan perempuan di atas martabat kaum lelaki namanya.
Sungguh pun begitu, tidak ada salahnya kaum lelaki membantu kaum perempuan menyelesaikan urusan dapur. Bisa saja suami membantu isterinya memasak, misalnya. Tidak membanggakan juga apabila suami hanya pandai menunjuk ini-itu agar dikerjakan isterinya, termasuk dalam urusan dapur. Intinya, perempuan-lelaki memang sudah memiliki kodratnya masing-masing, sehingga tercipta semangat saling menghargai, bukan saling berebut posisi di atas. Begitulah yang seharusnya.
Akan tetapi, yang terjadi selama ini tidaklah demikian. Emansipasi telah disalahpahami. Perempuan seolah bisa berbuat sebagaimana yang bisa dilakukan lelaki. Itu sih memang dapat dibenarkan. Hanya saja kebanyakan kaum perempuan lantas mengabaikan kodrat keperempuanannya dan tanggung jawabnya sebagai isteri di dalam sebuah keluarga yang dibangun bersama suaminya. Istri tak lagi memerhatikan masalah keterampilan memasak, sehingga tidak bisa memasak. Konsekuensinya suami, isteri, dan anak-anak sering mengisi perut di luar rumah. Suami menjadi tidak begitu menemukan kehangatan sikap isterinya. Begitu pun sebaliknya, isteri tak lagi mendapatkan kehangatan perhatian suaminya. Anak-anak pun tak menemukan kebanggaan berada di rumah, meskipun ayah dan bundanya kaya raya dan memiliki profesi membanggakan. Itu awal kehancuran keharmonisan. Rumah tangganya tak lagi bagaikan surga. Padahal Nabi mengajarkan: Baiti Jannati, rumahku adalah surgaku. Mari bantu suami mewujudkan keluarga yang bak surga, penuh kebahagiaan. Inilah yang harus diupayakan oleh kaum muslimah. ABDUR RAHEM