Oleh: Miqdad Husein
Kolumnis, tinggal di Jakarta
Sebentar lagi bulan ramadhan akan berlalu. Bagi mereka yang sungguh-sungguh mengisi ramadhan dengan kegiatan ibadah serta memahami maknanya, detik-detik menjelang akhir ini merupakan moment mengharukan. Seperti syair lagu, pelan-pelan menyeruak perasaan akan kehilangan. “Baru terasa kehadiranmu ketika sudah tiada.”
Ya. Bagi ummat Islam sejati kedatangan ramadhan merupakan moment kegembiraan luar biasa. Lalu saat akan berakhir meninggalkan kesedihan tiada terhingga. Ada kerinduan tak puas, cemas tak pasti di tengah gejolak dan harapan bertemu kembali di tahun mendatang.
Di masjid yang jauh dari kesan hura-hura, biasanya usai berbuka puasa terakhir, saat melaksanakan sholat magrib air mata para jamaah seperti tumpah ruah. Suasana haru makin kental ketika pelan alunan takbir, tasbih dan tahmid bergema dari bibir-bibir gemetar.
Inilah sekelumit nilai spritual pada setiap ramadhan, yang dalam konteks sosial terekspresikan berwujud nilai-nilai kemanusian. Haru, sedih, nestapa, lalu tangis berurai air mata adalah pernik-pernik indah dari nilai kemanusiaan, yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Melalui ramadhanlah nilai-nilai itu bangkit, untuk selanjutnya mengisi perjalanan hidup pasca ramadhan.
Nun jauh di sana, seakan ramadhan berjalan perlahan, melangkah pasti meninggalkan ummat Islam di berbagai penjuru dunia. Ia dengan penuh kelembutan berkata, “Aku harus pergi. Mungkin jauh dan sangat lama. Mungkin ada sebagian tak sempat bertemu kembali denganku.”
Sampaikan salam untuk orang-orang mukmin, kata ramadhan lagi. “Syawal akan tiba sebentar lagi dan aku telah menjauh meninggalkan jejak-jejak yang mungkin berbeda. Ajaklah kejujuran mengarungi hari-hari mendatang, jika kebersamaan tetap akan terasakan tanpa kehadiranku. Karena kejujuranlah yang terbentang sebulan penuh menemani hari-hari lapar dan hausmu,” tutur ramadhan lembut sambil menghapus air mata mukmin.
“Tak usah gelisah jika kerinduan mengeliat dari nuranimu. Peluklah kesabaran dan sikap istiqomah, yang telah mengisi hari-hari panjang selama sebulan, yang membuatmu memiliki kekuatan menghadapi rasa lapar dan haus serta berbagai godaan duniawi lainnya.”
Ramadhan, berhenti sejenak. Lalu, dengan tersenyum kembali bertutur, “ Jika kebanggaanmu bangkit, bersandarlah segera pada tawadhu agar kesombongan tidak mengusikmu. Ia telah menjadi bagian dari kehalusan budi pekertimu selama perjalanan ramadhan ketika engkau merasakan lapar dan haus tanpa sedikitpun berteriak nyaring atau berkeluh kesah pada saudaramu.
“Engkau, mukmin, tak akan pernah kesepian jika rasa lapar selama sebulan masih engkau resapi lalu diwujudkan kepedulian pada saudaramu yang papa. Mereka akan mengingatkanmu dan mengobati rasa rindu padaku. Bukankah lapar dan haus saat bersamaku untuk mempertautkan serta membangkitkan tali persaudaraan dengan saudara-saudaramu yang tak berdaya itu?” ungkap ramadhan lembut.
Ramadhan memeluk mukmin yang menangis tersedu. “Terima kasih telah menyambutku dengan suka cita, menemaniku dengan keikhlasan dan kesabaran serta melepas kepergianku dengan derai air mata. Jika engkau selalu dalam perjalanan hari-hari mendatang tetap berselimut kerinduan kepadaku, akan kusambut engkau di pintu Ar Royan.”
Allahu Akbar Allahu Akbar Wa Lillahilham….