
Penulis : Nur Rakhim
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : I, 2015
Tebal : 244 halaman
ISBN : 978-602-279-169-0
Perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan agama Islam tak dapat dipisahkan dari peran aktif para kiai nusantara. Mereka memiliki banyak kisah, mulai dari perjuangan mencari ilmu hingga keberhasilan yang dapat dipetik hikmah dari setiap jengkal perjalanan hidupnya. Dan, buku Kiai-Kiai Kharismatik dan Fenomenal ini hadir dalam rangka menyuguhkan kisah inspiratif dari para kiai nusantara tersebut.
Inspirasi dari Kiai Wahab Hasbullah (halaman 34–39). Wahab Hasbullah merupakan kiai yang sangat besar jasanya terhadap dunia Islam Nusantara dan bangsa Indonesia. Bahkan, hingga tahun 2014 lalu, Presiden Jokowi memberikan penghargaan kepadanya sebagai Pahlawan Nasional. Sejak kecil, ia telah disiapkan oleh orang tuanya untuk menjadi seorang ulama besar. Setelah dididik sendiri, ia dikirim ke berbagai pesantren. Bahkan, ia sempat berguru pada Kiai Khalil Bangkalan (gurunya para ulama Nusantara) dan Kiai Hasyim Asy’ari (pendiri ormas NU).
Beberapa hal yang perlu menjadi inspirasi dari sosok Kiai Wahab Hasbullah adalah sikap tidak pendendam. Ia selalu bersikap humoris kepada sesama, tidak mudah terpancing emosi orang lain. Ia juga selalu gigih dalam mengupayakan cita-cita mulia. Selain itu, ia juga sangat dinamis dalam berpikir. Bahkan, dalam permasalahan syari’at agama (baca: fiqih), ia sangat bijak dalam berhukum.
Inspirasi dari Kiai Ali Maksum (halaman 149–156). Ali Maksum merupakan kiai kharismatik yang menguasai berbagai disiplin ilmu agama. Bahkan, ia menjadi rujukan para kiai tradisional maupun modern. Penguasaan ilmu agama yang mendalam ini bermula dari upaya orang tuanya yang gigih mendidik serta mengarahkan dirinya agar selalu belajar ilmu agama. Pada usai 12 tahun, ia dikirim ke Pesantren Tremas asuhan Kiai Dimyati.
Setelah merasa cukup belajar di Pesantren Tremas, Kiai Ali pulang ke Lasem dan membantu merawat pesantren ayahnya. Setelah tiga tahun di rumah, ia pun menikahi putri kiai besar di Yogyakarta, Kiai Munawwir. Beberapa hari setelah menikah, ia mendapatkan tawaran naik haji gratis dari saudagar kaya bernama H Junaid. Kesempatan emas ini pun tidak disia-siakan. Ia langsung menyetujui, bahkan kesempatan berada Makkah tidak hanya digunakan untuk berhaji saja, melainkan juga berguru pada ulama-ulama terkemuka di tanah suci selama dua tahun.
Sepulang dari Makkah, Kiai Ali diminta agar menjadi pengasuh Pesantren Almunawwir Krapyak. Hanya saja, ia menolaknya karena sudah memiliki tanggung jawab lain, mengembangkan pesantren ayahnya di Lasem. Ketika istri almarhum Kiai Munawwir yang notabene adalah ibu mertuanya meminta dirinya untuk memgang Pesantren Almunawwir, ia pun tak kuasa menolaknya. Kahirnya, ia pun menyanggupi untuk menjadi pengasuh Pesantren Almunawwir. Dalam kendalinya, Pesantren Almunawwir yang sudah diambang kehancuran karena ditinggal wafat Kiai Munawwir, lambat laun mulai membaik dan semakin berkembang. Nama Kiai Ali pun terus berkibar manakala Pesantren Almunawwir semakin lama semakin maju. Selain itu, pada tahun 1981, ia juga terpilih menjadi Rais Aam PBNU.
Kendati Kiai Ali menjadi orang besar, bahkan menjadi pucuk pimpinan ormas NU, ia sesalu bersahaja. Dan, sifat-sifat inilah yang mesti menjadi inspirasi setiap orang yang mengidolakannya. Ia merupakan sosok yang selalu rendah hati (tidak sombong), tanggap dan cekatan dalam menyelesaikan masalah, hidup sederhana, dekat dengan murid/santri, dan lain-lain.
Selain Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Ali Maksum, buku ini juga memaparkan kisah inspiratif kiai-kiai lain, semisal pendiri ormas Nahdlatul Ulama, Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri ormas Muhamdiyyah, Kiai Ahmad Dahlan, Presiden RI ke-4, Kiai Abdurahman Wahid, Kiai Wahid Hasyim, dan lain sebagainya. Selamat membaca! [*]
Oleh: Anton Prasetyo
Alumnus Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta