BANGKALAN, koranmadura.com – Permasalahan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sangat dirasakan semua pihak. Masyarakat harus dibebani iuran yang wajib dibayar dalam jumlah yang tidak sedikit dan berkelanjutan, juga kendala yang dihadapi oleh para dokter.
Sampai saat ini pemerintah tidak menunjukkan niat baik untuk mengganti atau memperbaiki sistem yang justru merugikan banyak pihak tersebut. Rakyat tidak punya pilihan karena dipaksa masuk dalam sistem ini.
“Jalan satu-satunya BPJS harus membayar sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan pasien agar pasien selamat, dokter tidak rugi dan rumah sakit tidak bangkrut. Namun, masyarakat menengah tetap memperoleh haknya dengan tidak dibebankan biaya berlebih, karena hak kesehatan memang milik rakyat,” kata Ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Bangkalan, Muhyi, Senin (28/7).
Pihaknya turut prihatin dengan keterpaksaan yang harus dijalankan oleh dokter dan rumah sakit dengan sistem JKN yang diatur oleh BPJS. Selama Presiden dan Kementerian Kesehatan membiarkan sistem ini berlangsung, maka risiko kematian semakin tinggi akibat buruknya pelayanan yang dibayar oleh BPJS.
“Dokter dan rumah sakit juga berisiko menghadapi tuntutan malapraktik dari masyarakat karena dianggap tidak melayani sesuai dengan kebutuhan pasien,” ujarnya.
Pelayanan pasien pada Jaminan Kesehatan sangat berisiko. Sebab BPJS tidak membayar penuh biaya pelayanan kesehatan pasien peserta BPJS. Seperti contoh, jika dokter mengobati pasien sesuai dengan keilmuan dengan memberikan yang terbaik dapat berakibat rumah sakit bangkrut. Alasannya pembayaran tiap penyakit oleh BPJS jauh lebih rendah dari tarif yang seharusnya.
“Akibat pelayanan yang rendah karena mengikuti tarif BPJS, maka pasien dan dokter menghadapi risiko tinggi. Harus diperbaiki sistem jaminan kesehatan seperti ini. Dilema ini pastinya dirasakan dokter yang ada karena dampak risiko tuntutannya,” jelasnya.
Menurutnya, dalam undang-undang dinyatakan bahwa BPJS menanggung semua pelayanan kesehatan peserta BPJS. Padahal banyak jenis obat yang perlu dan harus diberikan pada pasien, namun tidak ada dalam formularium nasional BPJS dan ekatalog yang menjadi acuan obat-obat yang ditanggung BPJS.
“Ini yang menyebabkan dokter saat ini bak makan buah simalakama. Karena ketika dokter meresepkan obat yang memang perlu, namun diluar acuan tadi, membuat pasien harus membeli sendiri dan artinya seorang dokter telah melanggar undang-undang,” ujarnya.
Dilemanya, jika tidak diresepkan obat tersebut pasien bisa tidak sembuh dan bahkan bisa berakibat risiko kematian. Sangat mengherankan kalau sampai saat ini pemerintah tidak memiliki jalan keluar untuk memperbaiki sistem di dalam BPJS, padahal sudah merugikan rakyat, dokter, dan rumah sakit-rumah sakit.
( MOH RIDWAN/RAH)