
Penulis : Toshihiko Izutsu
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, Oktober 2015
Tebal : 496 halaman
ISBN : 978-979-433-894-0
Tak sepenuhnya keliru bila tidak ada tokoh dalam sejarah Islam yang sekontroversial Ibn ‘Arabi. Syaih Akbar ini adalah titik yang melahirkan polaritas dengan dua kutub besar yang berseberangan: satu kelompok menempatkannya wali agung, bahkan penutup wali khusus; sedangkan kelompok lain memandangnya telah kafir dan keluar dari agama, bahkan puncak dari kekafiran itu sendiri.
Ibn ‘Arabi memiliki daya tarik sekaligus daya tolak yang sungguh sangat luarbiasa, bahkan Michel Chodkiewicz penulis buku An Ocean Without Shore: Ibn Arabi, the book and the low, teribitan New York: State University of New York, memberikan gambaran dengan ”Lautan tiada bertepi”.
Setidaknya perlu diungkapkan, bahwa di antara yang paling terkenal dalam mempromosikan label-kafir Ibn ‘Arabi adalah Ahmad bin ‘Abdul Halim bin Taimiyah Al-Harrarani, yang terkenal dengan Ibn Taimiyah. Bahkan Bersamaan dengan lahirnya gerakan dan paham literatis-takfiri modern, tampak betapa nama Ibn Taimiyah seolah menenggelamkan nama-nama lain dibarisan para penentang Ibn ‘Arabi.
Perihal tingkat keilmuan yang jauh melampaui manusia pada umumnya, sering bahkan hampir semua istilah dalam pemikiran Ibn ‘Arabi serasa mengunakan kata-kata bahasa arab yang longgar dan kaya. Sebagaimana yang terdapat dalam al-qur’an dengan beragam tingkat balagoh, tiap hurufnya memiliki makna yang ditunjukkan untuk berbagai keadaan rohani pembacannya, tanpa harus membuang makna umumnya. karena itu, al-qur’an menjadi “Obat” bagi semua penyakit manusia yang berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. (hlm xx)
Maka tidak heran, jika mendengar ungkapan-ungakan pemikiran Ibn ‘Arabi sering terdapat kesahpahaman bahkan lebih daripada itu. Ambil contoh dalam penggunaan beberapa istilah yang mengandung beragam arti yang kadang malah bertentangan. Maula, misalnya dalam bahasa arab bisa berarti “tuan” sekaligus bisa berarti “budak”. Ibn ‘Arabi tak merasa perlu memastikan mana diantara dua makna berlawanan itu yang dia tuju. Bayangkan, betapa mudah orang tergelincir dengan permainan seperti itu.
Tetapi, di balik kebingungan itu, Ibn ‘Arabi sedang mengajak orang untuk kembali kedalam batinnya sendiri. Ia ingin mengembalikanmakana kepada pembaca sesuai dengan maqam/kapasitas pembaca, bukan maqam penulis. Dengan cara ini, dia bukan hanya sedang menjelaskan duduk perkara ide wahdat al-wujud yang kondang itu, tetapi dia mengajak pembaca merasa langsung sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Paradoksal Ibn ‘Arabi yang tak lazim menjadikan berdebatan yang sangat, dan tak heran jika ditemui berbagai pertentangan bahkan pada tingkat tertentu tidak mengejutkan bila kita dapati penyebutan terhadap Ibn ‘Arabi sebagai “Imam Kesesatan, Ateis, Zindiq”, dan sebaginnya. Bahkan sampai pada tahap dimana terdapat larangan pada karya Ibn ‘Arabi. Bahkan Syaihk Shalih Zainuddin sempet menyatakan jika karya-karya Ibn ‘Arabi tidak akan ditemui di wilyah Mesir dan Aleksandia, juga tidak akan ada orang yang akan sanggup atau berani untuk menampakkannya. Kapanpun ditemukan buku Ibn ‘Arabi pada seseorang, akan dirampas, dibakar dan ia akan didera hukuman. Jika ia percaya akan kebenarannya ia akan dibunuh. (hlm IX). [*]
Oleh: Ridwan Bagus Dwi Saputra
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan Aktif di Samoedra Aksara Institute Yogyakarta