“Aku akan selalu ada untukmu. Percayalah … aku tidak main-main! Datanglah padaku jika kaurasakan berat untuk kembali padanya.” Banyu mem-bisikan kalimat itu dengan lembut sambil memeluk tubuh Jingga dan menye-matkan bunga mawar merah di antara sela rambut sebahu dan telinganya.
Jingga Wanita 30 tahunan yang berperawakan sedang dan berkulit sawo matang itu terus saja membenamkan badan dan wajahnya pada dada Banyu, lelaki hitam manis berpostur tinggi kurus yang duduk di sebelahnya. Lirih isak tangisnya seperti tertahan beban berat yang sulit untuk diungkapkan terdengar samar di antara bebunyian jangkrik-jangrik dan para nyamuk yang berseliweran di malam pekat takberbintang saat itu. Angin pun berhembus perlahan seolah-olah takut menganggu suasana khikmad di antara dua insan yang sedang melakukan pertemuan“…yang mungkin untuk terakhir kalinya….” Bisik hati Jingga yang menambah deras air matanya menerobos keluar membasahi dada “Pujangga”pujaan hatinya, Banyu.
Matanya yang kuyu karena sudah terlalu sering menangis dan wajahnya yang sudah hampir surut ayunya karena usia yang tidak belia lagi serta setumpuk beban kehidupanyang dipikul Jingga menjadi daya tarik tersendiri bagi Banyu untuk lebih mengasihi, wanita yang berbeda 2 tahun lebih tua darinya. Rasa di antara mereka mulai tumbuh di bulan Oktober. Ketika itu mereka dipertemukan melalui akun medsos. Yah…, di bulan Oktoberitulah akun medsos mereka dipenuhi dengan larik-larik puisi yang indah, sesiapapun yang membacanya akan terbawa arus suasana yang Jinga dan Banyu ciptakan.
“Terima pesanan Gojek diantar sampai ke hati. Pemesanan lewat angin yang berbisik di antara dedauanan yang mulai terlihat kerontang, bisa juga lewat riak air yang bermain di antara bebatuan sungai.” Tulis Jingga suatu hari di bulan Oktober pada dinding statusnya.
Banyu tertarik untuk mengomentari, segera ia raih HP edisi jadul yang masih tergantung di celana kerjanya setelah selesai salat zuhur sambil beristirahat siang. Maklumlah dia hanya seorang karyawan lepas pada satu di antara perusahan swasta di daerah bagian timur sana agak jauh dari tempat Jingga berdomisili sebenarnya.
“…dan satu pesananku nanti hingga kamu bertandang, bawakan untukku….”
“Apa yang kau pesan akan kubawakan. Asal jangan kau memesan hatiku karena sudah tak ada ruang kosong di dalamnya.” Balas Jingga dengan agak malu-malu karena itu kali pertama dia mendapat komentar yang berupa untaian aksara nan indah menyentuh hatinya.
“Tak butuh banyak tempat untuk menaruh sebutir benih.” Balas Banyu pada komentar selanjutnya.
“Benih? Tidak ada satu benih pun yang dapat tumbuh di hati yang telah terlanjur gersang. Apalagi kemarau terlalu panjang seolah enggang berganti dengan musim penghujan.”
Saat Jingga menulis kalimat-kalimat itu, hatinya memang sedang kacau tingkat dewa. Dadanya sesak dengan seribu beban persoalan rumah tangga yang bermuara pada kekerasan. Yah …, KDRT. Tidak ada tempat untuk mengadu baginya. “Teman se kantor … hanya akan menjadikannya hot gosip . Orang tua … ah, hanya akan menambah beban hidup mereka. Saudara … mereka sama lemahnya denganku.” Pikir Jingga.
Hari-hari berikutnyapun mereka tetap saling berbalas larik dalam akun mereka. Hanya Banyu yang bisa menyelami pemikiran Jingga lewat aksara-aksara yang dia untaikan. Keduanya sudah merasa tidak bisa berpisah, ada benang merah tipis yang mengikat keduanya. Entah siapa yang memulai, yang jelas mereka tengah dalam dekapan Dewa Amor meski hanya di maya dan berlanjut saling menghubungi secara langsung via telepon.
“Assalamualaikum, kamu lagi apa? Sudah salat? Sudah makan? Gimana perutnya, masih sakit? Kamu tahu tidak aku lagi ngapain saat ini? Aku sedang mengayun-ayunkan kaki karena gugup nelepon kamu, Jingga.”
Jingga tersenyum-senyum sendiri jika mengingat perkatan Banyu saat awal dia meneleponnya. Dadanya bergemuruh seperti anak-anak SMA yang baru mengenal cinta.
“Semua laki-laki itu kasar. Hanya awalnya saja dia akan bermanis-manis,” keluh hati Jingga untuk menekan gejolak rasa yang membara pada Banyu karena malu pada status pernikahan dan umurnya.
Berawal dari bulan Oktober itulah, hari-hari Jingga kembali menjadi biru, tak ada mendung di langit pinggiran Jakarta yang ada hanya cakrawala biru dengan mentarinya yang bersinar cerah merona. Akan tetapi, semua hanya tinggal angan, Jingga kembali terluka saat mengetahui Banyu,”Pujangga” pujaan hatinya telah membangun mahligai rumah tangga. Pupus harapannya menyatukan rasa di alam nyata.
“Aku bisa menjelaskan. Maaf…. Maafkan aku!” Dengan suara melemah Banyu berusaha menjelaskan status aslinya pada Jingga.
Jingga hanya terdiam, langitnya kembali kelabu. Isak tangisnya tertahan di tenggorokan.” Ini salahku.“ Pikir Jingga. “Mengapa aku begitu mudah menaruh rasa pada lelaki yang baru dikenalnya hanya lewat untaian-untaian kata yang menyentuh jiwa?”
Deras hujan mengguyur pinggiran kota Jingga yang sebelumnya memang sudah mendung menggelayuti bukan saja di langit, melainkan juga di hati wanita yang merasa asanya sudah tidak mungkin dapat diraih untuk selamanya. “Wanita bodoh mana yang mau dimadu atau dijadikan madu,” pikir Jingga di derasnya air hujan, dia sengaja memacu sepeda motornya agak kencang, 60 km/jam, agar bisa menangis dalam guyuran hujan.
“Mendung … biar hujan … biar hujan. Hujanlah yang deras, guyurlah jalanku agar bisa kusembunyikan air mata di antara air hujan. Kilat … datanglah kilat…! Kutantang bunyimu! Kuingin kita tanding teriak agar napas terserngal yang terhimpit beban rasa memudar bersama sambaranmu….”
Berteriak sekeras-kerasnya Jingga saat langit kian deras menurunkan air dari tiap-tiap awan yang menghitam. Seperti orang gila dia berteriak sambil menangis memanggil satu nama.
“Mamah …!”
CIIIT!!! … BRAAAKKKKK …!!!
Keras terdengar disertai jeritan orang-orang di sekitar jalan beraspal. Pecahan kaca spion motor Jingga dan darah yang berceceran tampak diguyur derasnya hujan. Waktu terhenti di sana. [*]
Oleh: Senja Menjingga
Nama pena dari Iis Nia Daniar, Lahir 15-08-1977 di Bekasi, Jawa Barat. Pendidikan S-1 Sastra dan Bahasa Indonesia, UNPAD, Bandung. Bekerja sebagai I Smart PRIMAGAMA cabang Bekasi.