JAKARTA-Citra lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, Mahkamah Agung (MA) tengah berada dititik nadir. Wibawa lembaga ini hancur berantakan setelah banyak hakimnya diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran terlibat kasus suap.
Ketua KPK Agus Rahardjo meminta Presiden Joko Widodo dan DPR duduk bersama membicarakan persoalan yang membelit hakim MA ini. “Mari kemudian teman-teman DPR ketemu dengan Presiden untuk melakukan reformasi secara mendasar di MA karena kejadiannya terlalu banyak. Kalau kejadian seperti itu kan seperti kita bilang itu gunung es-nya ya kan? Berarti kan banyak sekali,” kata Agus di Hotel Bidakara, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (26/5).
Seperti diketahui, sejauh ini sebanyak 30 hakim dari 340-an hakim yang ada terlibat dan terjaring operasi tertangkap tangan (OTT) KPK.
Menurutnya, persoalan pendapatan (gaji) bukanlah sumber utama dari gejala hakim menerima suap. Gaji hakim sudah cukup layak. Karena itu, dia memperkirakan pasti ada permasalahan elementer di MA. “Berarti kan rekruitmen hakim, mengenai rotasi, mutasi,” jelasnya.
Agus mengingatkan, hakim harus transparan setiap menangani perkara. “Jadi bagaimana kasus setelah diputuskan kemudian segera diketahui oleh yang berkasus, yang berperkara,” ujar pria asal Magetan itu.
Komisioner Ombudsman RI La Ode Ida menilai, lembaga pengadilan sudah tak bisa diharapkan lagi untuk menegakkan hukum demi keadilan. Dengan terungkapnya berbagai kasus korupsi di lembaga peradilan semakin menunjukkan para oknum membuktikan diri memperjual-belikan atas kasus-kasus yang ditangani.
Dugaan keterlibatan Sekjen MA, Nurhadi, dalam kasus suap dengan harta yang melimpah atau tertangkap tangannya Kasudit Pranata Perdata di MA, Andri Setiawan. Ini tak bisa diragukan lagi kalau bagian kepala lembaga peradilan sudah berbau busuk.
“Bagaikan ikan, kalau bagian kepalanya sudah busuk, otomatis seluruh badannya juga rusak. Itulah bagian dari potret lembaga pengadilan kita: sudah berbau busuk,” ujarnya.
Kondisinya kian parah ketika mitra kerja MA, jajaran kejaksaan dan kepolisian, juga memiliki kultur sama, yakni transaksional. Karena, kata dia, banyak kasus kejahatan korupsi dan sejenisnya mengendap di lembaga-lembaga tersebut.
Kasus mengendap dengan alasan pembenaran yang dibuat-buat di tengah penangannya yang tertutup. “Istilahnya, kasus-kasus kejahatan itu diproyekkan atau ditransaksikan,” paparnya.
Sebab itu dia tidak heran jika KPK akhirnya turun menangkap para koruptor di daerah, termasuk para penegak hukum. Padahal kasus-kasus kejahatan itu ada di depan mata mereka. Barangkali saja mereka diamkan lantaran sudah kebagian dari “proyek kejahatan” itu.
Hakim Agung, Gayus Lumbuun menilai peradilan di Indonesia terus mengalami turbulensi akibat banyaknya praktik korupsi, bahkan melibatkan hakim. “Kondisi sebenarnya hal itu akibat ada kesalahan pimpinan MA dalam mengelola organisasi kehakiman. Sebanyak 10 pimpinan MA membawahi 300 lebih peradilan di seluruh Indonesia,” katanya pada diskusi “Lembaga Peradilan dalam Pusaran Korupsi” di DPR, Jakarta, Kamis (26/5).
Dia menyebut Sekjen MA Nurhadi yang diduga terlibat kasus justru sedang dalam promosi untuk dipindahkan ke Bengkulu. Tim Promosi dan Mutasi (TPM) yang menangani posisi dan jabatan para hakim di daerah tersebut berarti tidak mempertimbangkan rekam jejak, latar belakang, prestasi, pengalaman hakim dan faktor lain.
Karut-marut peradilan tersebut juga tercermin dalam pemilihan pimpinan hakim MA. Bahkan mayoritas hakim masih mencari aman, oportunis, dan ambisius menjadi pimpinan MA. Jika sebelumnya ada sekitar 31 hakim yang pro reformasi, tapi ketika menjelang pemilihan terus berkurang. Alhasil dari 31 hakim pro reformasi tersebut tersisa 18 orang. Selain itu pemilihan pimpinan MA selalu melanggar Tatib. “Misalnya tidak boleh interupsi, dilarang bertanya, dan lain-lain,” terangnya.
Usia Pensiun
Sementara itu, Komisi III DPR RI yang sedang membahas Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Jabatan Hakim mengusulkan pembatasan usia pensiun hakim agung dari 70 tahun menjadi 65 tahun. “Pembatasan usia pensiun hakim agung ini agar kinerja agung lebih optimal,” kata Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, pada diskusi “Dialektika: Lembaga Peradilan di Pusaran Korupsi” di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (26/5).
Menurut Arsul, mencermati kondisi para hakim di lembaga peradilan Indonesia saat ini ada yang tersangkut kasus korupsi dan etika, maka Komisi III DPR RI menjadi lebih semangat mengusulkan batas usia pensiun hakim dan hakim agung.
Ada masukan, kata dia, jabatan hakim agung dapat diduduki oleh seorang hakim karir setelah menjadi hakim paling tidak selama 20 tahun dan telah menduduki jabatan struktural di setiap tingkatan lembaga peradilan yakni pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.
Gayus Lumbuun menyambut baik usulan DPR RI untuk membatasi usia pensiun hakim agung dari 70 tahun menjadi 65 tahun. “Adanya usulan pembatasan usia hakim agung menjadi 65 tahun, itu usulan yang baik,” kata Gayus. (GAM/ABD/ANT)