Mendiang Gus Dur pernah mendagel, bahwa memang Al ummu madrasatul ula (ibu adalah sekolah utama ‘bagi anak’) tapi ayah kan kepala sekolahnya, dawuh presiden RI ke-4 lantas misem khasnya.
Memang peribahasa Arab itu cukup ‘menyempitkan’ makna peran ayah dalam pengasuhan anak. Tapi harus dipahami ayah sejatinya memiliki porsi penting dan besar dalam pengasuhan anak. Karena ayah dapat menjadi stabilisator mental anak -dalam KBBI mental diartikan bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Sementara peran ibu sudah mutlak untuk menjadi sumber kehidupan anak. Ibu berkeharusan memberi ASI selama 2 tahun -ASI eksklusif selama 6 bulan.
Psikolog SD Muhammadiyah 4 Surabaya Mulyana, M.Psi mengatakan, stabilisasi mental anak sangat dipengaruhi oleh peran pengasuhan ayah. Karena ayah dalam keluarga tak ubahnya figur laki-laki gagah yang setiap mangambil sikap selalu tegas, meski tidak keras. Peran ayah, kata alumnus Unair ini cukup strategis, karena nilai dari produk pemikiran ayah itulah yang berpengaruh pada pembentukan karakter anak. Dalam teori psikologi kontemporer, kata Mulyana, karakter anak dalam bersikap dan bertindak banyak mengimitasi ayah, meskipun kecerdasan secara genetika adalah menurun dari ibunya.
John Gottman dan Joan De Claire dalam buku: Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional, menguak pentingnya peran ayah dalam pendidikan anak-anaknya, khususnya dalam perkembangan emosional anak. Buku tersebut menyebutkan banyak sisi positif jika ayah terlibat dalam pengasuhan anak dalam bekerjasama dengan seorang ibu. Seperti dilansir laman sahabat.kemendikbud.go.id, Rabu, 25 Mei 2016.
Penelitian tersebut memaparkan keterlibatan ayah dalam kehidupan perkembangan anak sangat pengaruh pada stabilisasi mental anak. Bagi anak laki-laki dapat memengaruhi kesuksesan bersosial dan berprestasi akademik. Sedangkan bagi anak perempuan dapat tercegah/terjaga dari aktivitas negatif yang merugikan, seperti free sex, narkoba, dan lain-lain, serta mampu membangun hubungan yang sehat saat dewasa.
Ayah yang merupakan kepala rumah tangga memang cenderung menampilkan sisi gentleman-nya dalam keluarga. Ketegasan dan sikap tanggungjawab mencari nafkah untuk menghidupi keluarga merupakan karakter pengayom dan pelindung keluarga, tak terkecuali anak. Rasionalitas pemikiran ayahlah yang dapat memicu emosi anak stabil. Biasanya, anak yang yang mendapat pengasuhan cukup dari ayah dapat menjadi anak percaya diri, berani tampil, tegas, dan pekerja keras, serta berkarakter kuat untuk mencapai kesuksesan di masa depan. Kagum pada ayah jelas dirasa anak. Masa kecil saya sempat batin begini: Ayah meski sangat sibuk masih meluangkan waktu untuk kami.
Adab Orangtua
Orangtua sebisa mungkin harus mencipta rumah laksana surga. Rumah yang bukan hanya dibuat luas atau mewah semata, tetapi nyaman dan menyenangkan seluruh penghuni. Ayah Ibu harus mencari cara supaya rumah benar-benar menyejukkan keluarga, agar seisi rumah terutama anak dapat hidup stabil. Sehingga anak tidak terhambat dalam menapaki kehidupan dan meraih cita-citanya kelak.
Syarat agar rumah menjadi surga kecil keluarga cukup sederhana. Ongkosnya pun tidak mahal. Ayah dan ibu hanya perlu bersinergi dan saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Ayah ibu harus menjadi figur panutan atau suri tauladan dalam keluarga. Dalam hal ibadahnya, kejujurannya, ketertibannya, tepat waktunya, kebersihannya, tanggungjawabnya, empatinya, bersosialnya, santun, ramah, dan lain sebagainya.
Ayah ibu harus selalu sehat badan dan hati dalam keseharian. Jangan pernah berseteru di hadapan anak apalagi menjadikan anak objek kekerasan. Anak harus melihat kedua orangtuanya sumringah setiap saat. Karena hal itu yang memacu semangat anak untuk berkarya dan berprestasi gemilang. Anak cenderung merasa aman berada di lingkungan keluarga harmonis. Sementara perseteruan/kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya dapat merusak fisik tetapi juga jiwa. Selain si korban, yang meyaksikan kekerasan acap kali mentalnya “dirusak” dan otak yang melongok “adegan” tak terpuji itu akan menyimpan dalam memorinya secara permanen dan berakibat fatal kelak.
Namun, lebih jauh orangtua harus juga melatih atau memperkenalkan anak mendapatkan tantangan. Karena tantangan merupakan paket kehidupan yang tak terpisahkan dengan kesenangan/kemudahan. Ada senang, pasati juga ada sedih. Sudah hokum alamiah. Namun, tantangan dapat melatih anak menjadi pribadi mandiri dan bertanggungjawab. Karena tantangan adalah alat ukur efektif untuk menguatkan mental anak. Sebaliknya kesenangan –karena dimaja orangtua- dapat mengantar anak menjadi pribadi cengeng, mudah menyerah, dan merugi di saat dewasa.
Ingat, orangtua yang cinta kepada anak-anaknya adalah yang menata diri dengan baik sejak dini. Mempersiapkan semaksimal mungkin agar anak menjadi manusia sempurna, yang bahkan lebih baik daripada orangtuanya sendiri. Untuk itu orangtua harus teguh agama dan akhlaqnya, menunjukkan perilaku terpuji setiap saat karena anak akan meneladani apa yang dilihat dan didengar dari keseharian orangtua. Orangtua harus tegas, bukan keras/kasar. Tegakkan aturan, tunjukkan ini baik dan itu buruk. Ajarkan dengan ramah dan penuh kasih sayang. Semoga yang sedikit ini ada faedah dan gunanya. Aamiin. [*]
Oleh: Mulyanto
Orang Sumenep menetap di Surabaya, Staf SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya