Aku memang pengecut. Tak berani menjalani risiko paling buruk dalam mahligai rumah tangga. Aku tak mau kelak melihat anak istriku mati lebih dulu. Aku berharap malaikat mencabut nyawaku lebih dulu, karena aku tak yakin masih waras setelah satu per satu orang yang kusayang tiada.
“Berarti kamu egois,” tuding temanku.
“Tidak.”
“Bayangkan kamu mati duluan. Istri merawat anakmu sendiri. Kaupikir gampang?”
“Rejeki sudah ada yang ngatur,” jawabku pendek.
Temanku mendengus dan pergi. Ia tak mau lagi bicara soal kematian atau menebak siapa yang lebih dulu mati—aku atau istriku, dia atau istrinya, dan sebagainya—lebih- lebih berharap siapa yang menurutku berdampak baik bila mati duluan.
Suatu saat aku pasti akan mati. Dan tentu istri dan anakku kelak juga mati. Kami tidak tahu kapan, di mana, dan bagaimana kami mati, tapi kematian membuat kami terpisah. Di dunia ini kami tidak lagi bertemu.
Pikiran itu sederhana: bahwa setiap manusia pasti akan lenyap dari keluarganya. Di kepalaku, semua itu membangun jaringan rumit serupa benang kusut yang panjangnya sepuluh kilometer dan tak ada seorang pun sanggup mengurai.
Aku bayangkan jika anakku duluan yang mati, aku dan istri kesepian. Tak ada rutinitas istri memasak sarapan buat si jagoan, atau aku menyiapkan rencana liburan hebat sehabis ujian. Juga, tidak ada tanya jawab konyol antara kami bertiga: mana yang lebih dulu ada, telur atau ayam?
Kalau anakku mati duluan, rumah kami sepi. Aku tidak bisa menghibur istriku dengan kata-kata manis, “Suatu saat Tuhan memberi kita titipan lagi.” Kandungan istriku bermasalah sejak melahirkan anak pertama. Sejak itu, ia tidak bisa mengandung.
Alangkah menyedihkan rumah sepi, tanpa anak-anak, tanpa dunia sederhana hitam dan putih, tanpa mainan, tanpa pekik seru atau tangis rengek manja minta dibelikan tas bergambar Ultraman. Tidak ada teman-teman anakku yang berisik dan suka mengacak- acak kulkas sampai dapur jadi kotor. Tidak ada nasihat bahwa main petasan berbahaya. Tidak ada papan larangan ini dan itu—yang membikin anak itu kadang-kadang kecewa dan cemberut, sehingga aku dan istri menertawakannya berdua di kamar, “Lihat, anak kita. Kalau ngambek persis kamu!”
Aku juga membayangkan, jika istriku duluan yang mati, aku dan anakku kesepian. Tak ada yang cerewet membangunkan kami dari tidur. Tak ada yang tahu masakan apa yang kusuka di rumah ini. Tak ada yang memilihkan kemeja dan celana panjang yang pas buatku. Juga, tak ada yang tahu apa yang harus dilakukan saat si kecil sedang marah dan merajuk, “Mau apa, Nak? Bilang ke Papa.” Alangkah pendiamnya anak itu, jika tak ada mamanya.
Kalau istriku mati duluan, rumah kami sepi. Aku tak bisa menghibur anakku dengan kata-kata manis, “Nanti Tuhan mengirim mama baru buatmu, Nak?” Tentu saja, aku tidak yakin, jika kelak terpaksa menikah lagi, istri baruku mau menerima anak itu sebagaimana anak kandungnya sendiri.
Alangkah mengerikan rumah sepi. Tanpa tempat berbagi jika di kantor banyak soal berat. Tanpa tempat bertukar pikiran jika ada sesuatu yang kami rencanakan. Tanpa pukulan manja jika suatu malam, di hari ulang tahun istri, aku pura-pura tak tahu dan bersandiwara nyeleweng dengan teman sekantor. Tidak ada kehangatan karena anakku lebih banyak diam. Tidak ada penyeimbang saat aku dengan frustrasi memilih marah, sebab anakku terlalu nakal.
Aku benar-benar tak sanggup membayangkan. Lebih-lebih, jika keduanya, anak dan istriku, sama-sama meninggal. Mereka pergi begitu saja dan aku sendirian. Tak ada apa pun. Tak ada cinta yang tersisa. Barangkali, jika itu terjadi, aku berakhir di rumah sakit jiwa.
Semua itu berkumpul di otak, membentuk gumpalan, sehingga jika membayangkan anak dan istriku mati kedua-duanya, gumpalan itu berputar dan menggelinding ke sana kemari di tempurung kepalaku, membuat kepalaku pusing dan semua memori penting terhapus. Aku tidak ingat apa-apa kecuali sadar bahwa aku manusia tanpa arah.
Kuakui aku pengecut!Aku tak berani menjalani risiko paling buruk dalam mahligai rumah tangga. Aku tak mau melihat anak istriku mati dulu. Aku berharap malaikat mencabut nyawaku dulu. Jika itu terjadi, jika aku mati duluan, mereka tidak kesepian.
Mungkin mereka sedih mulanya, lalu lama-lama tidak, karena istriku cantik. Harta yang kutinggalkan tidak sedikit, berupa aset bergerak dan tidak bergerak, yang kudapat dari usaha restoran dan toko perhiasan warisan mendiang ayahku. Di sisi lain, aku juga kerja, orang kantoran. Sumber uangku di mana-mana dan siapa pun bersedia menjadi penggantiku, dengan atau tanpa cinta, dengan atau tanpa rasa malu.
Mungkin yang pertama mendekatiku salah seorang temanku, yang diam-diam suka memuji, “Istrimu cantik, lho.” Aku tahu maksudnya, tapi selama ini diam saja. Aku juga tahu bagaimana istriku kadang pintar bermain api, meski aku tidak pernah membalasnya karena rasa cintaku kelewat besar. Keutuhan rumah tangga dan kesucian yang kubangun sejak awal tidak boleh rusak, pikirku. Maka aku diam. Ya, karena aku pengecut.
Kalau bukan dengan selingkuhan—teman sekantorku tadi—bisa saja istriku nikah dengan orang lain. Sepupu jauhku selalu cepat mengambil peluang. Selalu dua langkah di depan. Orang satu ini kelihatannya baik di depan, tapi sesungguhnya busuk. Ia, tentu, siap menggantikanku menguasai hartaku dan menikahi istriku. Ia juga menyuruh anak kami memanggilnya ‘ayah’ atau ‘bapak’, bukan ‘papa’, karena itu hanya memutar kembali kenangan si anak tentangku yang sudah mati.
Aku harus hilang dari kepala mereka—anak dan istriku. Aku harus dihapus dari kenangan, kecuali membiarkan foto-fotoku tergeletak di album berdebu dalam gudang, sehingga kelak ada sesuatu yang bisa dikabarkan pada anak cucu di masa puluhan tahun mendatang; “Ini nenek moyang kalian.”
Barangkali itu yang bakal terjadi.
Aku tidak protes seandainya anakku beranggapan aku bukanlah papa kandung idola. Papa idolanya adalah yang hadir di masa-masa ia memahami kehidupan; sesudah mamanya menikah lagi. Mungkin aku hanya sisa-sisa dari dunia hitam-putihnya. Dan aku terkenang sebagai bayang-bayang wajah lelaki tanpa makna di matanya, di hatinya, di kepalanya.
“Lihatlah, Nak, alangkah mirip bibirmu dan bibirku,” bisikku di kejauhan, di dunia lain tak terjangkau tangan manusia.
Tapi, aku tidak mungkin bicara soal kematian dan segala kemungkinan masa depan yang sama pahit pada istriku, apalagi anakku yang masih kecil. Aku cuma diam-diam berdoa agar aku mati lebih dulu saja, daripada harus menderita dan menjadi gila sebab ditinggal mati duluan.
Aku yakin, siapa pun yang menggantikan posisiku sebagai kepala keluarga, pasti sanggup dan becus membuat anak istriku bahagia. Kurasa itulah akhir paling manis dari sebuah mahligai rumah tangga.
Kata temanku, “Kamu berlebihan. Coba pikir yang konkret-konkret saja. Yang ada dan terjadi hari ini. Masa depan biarlah di tangan Tuhan. Kamu punya agama, ‘kan?”
Aku diam saja mendengar pertanyaan itu. Kadang-kadang, aku malah berpikir, sebaiknya tak ada rasa takut itu. Tak ada bayang maut dan biar hidup mengalir seperti air. Tapi, dunia bukan akhirat, dan aku di sini, di muka bumi, di belahan dunia. Bukan di surga atau di neraka. Aku di sini dan kelak bisa mati kapan saja. Anak istriku juga bisa mati kapan saja.
Seandainya aku malaikat maut yang tak berperasaan.
***
“Bagaimana? Sudah ada kepastian?”
“Apanya, Yah?”
“Rencanamu.”
Aku diam.
Ayah menungguku. Lima menit, tak ada satu pun suara. Lalu kudengar Ibu tanya, siapa pacarmu? Anak mana? Kujawab, teman sekantor, Bu. Ayah tampak senang, tapi aku mengangkat tangan.
“Tolong jangan bahas dulu.”
“Lho, kenapa?”
“Kami putus.”
Ayah marah. Ia membanting koran di tangan dan keluar. Ibuku mengembuskan napas. Sepertinya dia lelah. Aku tahu. Maafkan anakmu, Bu, anak tak berguna. Tapi tak ada suara. Mulutku mendadak bisu. Ibu memandangiku beberapa menit, sebelum ke kamar. Tanpa kata-kata. Tinggal aku sendiri, di ruang tengah, dengan detak jam dinding dan decak cicak yang berkejar oleh berahi.
Seandainya aku cicak—membayangkan diriku malaikat maut, terlalu muluk—tak ada rasa takut. Ia beranak-pinak tanpa bahtera yang didayung dan dijaga. Tanpa risiko kehilangan akibat kematian. Barangkali benar kata temanku, aku harus berpikir segala yang ada dan terjadi hari ini, sebab sejak kecil aku sudah ngerti agama. Masa depan di tangan Tuhan, ‘kan?
Kuakui aku pengecut. Ayah benci pengecut. Katanya, “Belum apa-apa sudah mikir yang tidak-tidak. Yang penting jalani saja. Titik!”
“Bukan begitu, Yah.”
“Apa alasanmu?!”
Aku benar-benar tidak bisa menjawab. Ayah tidak suka aku bersikap seolah aku lebih pantas menulis takdir ketimbang Tuhan. [ *]
Gempol, 18 Januari – 17 Juni 2016
Cerpen: Ken Hanggara
Lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.