Oleh: MH. Said Abdullah
Dengan mencermati kultur serta anatomi sosial masyarakat yang relatif homogen proses Pilkada Madura di tahun 2018 kemungkinan besar jauh dari riak-riak beraroma SARA. Apalagi sebagian besar masyarakat Madura merupakan warga Nahdiyin, yang selama ini dikenal memiliki pemikiran relatif moderat; ditambah lagi tak adanya calon beragama dan dari latar belakang daerah lain.
Secara matematis berbagai potensi ketegangan sebagaimana Pilkada Jakarta memang tak ada. Namun demikian tidak berarti Pilkada di Madura dijamin sepenuhnya akan berjalan mulus tanpa dinamika berarti. Persoalan kultural khas Madura justru bisa menjadi ketegangan berbeda yang selayaknya perlu pula diantisipasi.
Bukan rahasia lagi sering ketegangan terkait politik di Madura bersifat spesifik serta sangat khas Madura. Jika di daerah lain muncul ketegangan antar partai, di Madura hal-hal tak terduga bisa muncul seperti ketegangan antar keluarga, yang memiliki dukungan sama-sama besar. Termasuk pula antar ikatan keagamaan di lingkungan Nahdiyin. Bukan hal luar biasa ikatan ketergantungan pada kiai yang berbeda sering pula menjadi pemantik ketegangan.
Inilah kekhasan Madura yang meminjam istilah Emha Ainun Najib dinamika budayanya terutama dalam konteks politik nda’tentu alias sulit diduga. Hal-hal potensial ketegangan yang terjadi di daerah lain seringkali di Madura berjalan aman; sebaliknya yang praktis di daerah lain berjalan mulus bahkan diabaikan justru muncul tanpa terduga di Madura.
Di sinilah penting pembelajaran pada kondisi budaya Madura, yang belakangan sudah mulai merebak fenomena khas Madura dengan wacana munculnya Badrut yang praktis sebelumnya kurang terdengar. Selama ini Kholil lah yang namanya merebak mewarnai masyarakat sebagai kandidat dari Partai Kembangkitan Bangsa (PKB). Keduanya yang kini bersaing mendapatkan tiket dari PKB –ini lagi-lagi khas Madura- memiliki pertautan darah dengan Badrut relatif lebih muda.
Dua kader PKB yang memiliki pertautan hubungan keluarga ini diharapkan mampu mengatasi perbedaan yang berkembang. Bila keduanya mampu menyelesaikan persoalan internal secara baik, Pilkada di Madura diyakini akan berjalan relatif aman; tanpa gangguan berarti.
Bagaimana dengan interaksi politik Pilkada dengan berbagai potensi partai politik lain di luar PKB? Sebagaimana disinggung pada pembukaan tulisan ini homogenitas warga Madura ikut mempengaruhi suasana relatif tenang setiap Pilkada di Madura. Ini terkait fakta riil para kandidat yang praktis memiliki kultur sama sehingga ada kesadaran menganggap Pilkada lebih mengarah pada semangat bersanding ketimbang bertanding. Seketat apapun persaingan tetap aroma persandingan lebih terasa ketimbang pertandingan atau kompetisi.
Peran para kiai bila berjalan efektif memberikan kontribusi nilai-nilai agama makin memberikan jaminan kesejukan pelaksanaan Pilkada di Madura. Secara bercanda ada ungkapan bahwa bila terjadi ketegangan dalam level pertemuan atau event apapun di Madura, cukup seorang kiai melantunkan salawat badar maka semua akan kembali mencair. Inilah salah satu keunikan atmosfir politik di Madura. Nuansa religius begitu dominan sehingga berbagai ketegangan politik mudah mencair bila ada lantunan ayat-ayat suci alqur’an maupun salawat.
Di sinilah penting partisipasi aktif para kiai, ulama dalam mengawal pelaksanaan Pilkada di Madura agar tetap dalam suasana bersanding sehingga ketegangan semaksimal mungkin dapat dihindari. Ketaatan dan penghormatan masyarakat Madura pada kiai dan ulama yang luar biasa, bisa menjadi keuntungan tersendiri sehingga mempermudah dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat Madura bahwa Pilkada sebenarnya lebih merupakan rangkaian kegiatan bersemangat persaudaraan.
Anatomi kultural relasi kiai atau ulama dengan ummat ini jauh-jauh hari -sebelum hajat Pilkada dilaksanakan perlu dikembangkan optimal melalui proses pencerahan pendewasaan politik sebagai upaya meredam berbagai potensi ketegangan. Contoh sikap elite dan warga Nahdiyin dalam Pilkada di Jakarta dan berbagai daerah lainnya, tentu layak menjadi referensi menarik dan pembelajaran penting bagi kiai dan ulama di Madura, yang mayoritas merupakan warga Nahdiyin.
Diyakini sepenuhnya –belajar dari pengalaman perjalanan kehidupan masyarakat Madura- bila kiai atau para ulama mampu berperan efektif, menjadi kekuatan moral mencerahkan, tak ada masalah di Madura, yang tak dapat diselesaikan. Doa-doa, karamah kiai dan ulama Madura serta bimbingan langsung pencerahaman keagamaan insya Allah akan menjadi kekuatan pengawal Pilkada di Madura berjalan adil, jujur, tertib dan aman sebagai langkah strategis mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Madura. Semoga.