JAKARTA, koranmadura.com – Tragedi Mei 1998 menjadi penggalan sejarah penting Indonesia. Menjelang lengsernya rezim Soeharto, yang berkuasa 32 tahun, pada 21 Mei 1998, beberapa peristiwa menyertainya, mulai terbunuhnya mahasiswa dalam tragedi Trisakti, penjarahan massal, pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa, hingga pengunduran diri Presiden Soeharto. Haris Azhar, aktivis mahasiswa dalam pergerakan reformasi itu, buka suara mengenang seluruh kejadian tersebut.
Haris, pendiri lembaga advokasi hukum dan hak asasi manusia Lokataru yang juga alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti, menyebutkan tragedi Mei 1998 menjadi tonggak sejarah Indonesia baru. Namun, dalam perjalanan waktu, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu merasa prihatin atas sikap beberapa aktivis reformasi yang saat ini menduduki jabatan-jabatan penting, baik di DPR maupun sumbu kekuasaan.
“Mereka seharusnya bisa mendorong segala hal untuk tercapainya cita-cita reformasi, seperti yang diperjuangkan sebelumnya,” kata Haris kepada Tempo, Senin, 15 Mei 2017. Tragedi Mei 1998 yang digerakkan mahasiswa berhasil menumbangkan rezim Soeharto dan mengedepankan agenda reformasi
Menurut Haris Azhar, terdapat dua tipe aktivis reformasi. “Ada dua tipe aktivis reformasi. Dia masuk ke rezim lalu jadi ‘juru benar’ si rezim. Kasihan sama yang seperti ini,” ucapnya. Tipe lain, ujar dia, adalah mereka yang masuk ke posisi tertentu tapi bukan “juru benar”. “Yang tipe kedua ini lumayan, tapi sedikit jumlahnya,” ucapnya. (Tempo.co)